Minggu, 20 Desember 2009

peranan gaya kepemimpinan dalam organisasi

A. Konsep Kepemimpinan

Dalam pencapaian tujuan organisasi, manajemen merupakan sarana yang paling utama, sebab manajemen pada hakikatnya adalah serangkai kegiatan yang dilaksanakan para manajer/pemimpin untuk mengerahkan, menggerakkan, dan mengarahkan segala sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan secara efisien dan efektif.

Anonim (2000: 1) mengemukakan bahwa tanpa organisasi tak ada manajemen dan sebaliknya tanpa manajemen tak ada organisiasi. Manajemen merupakan organ spesifik dari organisasi modern. Manajemen adalah organisasi kerja tempat bergantung prestasi dan keberhasilan serta kelangsungan hidup organisasi. Organisasi berkembang sejalan dengan perubahan ilmu dan teknologi yang semakin canggih disertai tantangan-tantangan baru yang harus dihadapi.

Menurut Wahjosumidjo (1994:32) bahwa ada tiga gejala penting yang dimiliki oleh setiap organisasi yaitu : (1) setiap organisasi harus mempunyai tujuan, (2) untuk mencapai tujuan tersebut harus ada program, (3) setiap organisasi harus memiliki pemimpin atau manajer yang bertanggung jawab terhadap organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Berdasarkan ketiga unsur pokok yang menandai setiap kehidupan organisasi, membarikan kesimpulan betapa pentingnya peranan manajemen di dalam eksistensi suatu organisasi dan betapa besar peranan pemimpin atau manajer dalam mengembah tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

Anonim (2000: 2) bahwa manajemen adalah proses kerja sama antara manusia dalam mencapai tujuan organisasi melalui dan dengan bantuan orang lain. Manusia manajemen adalah manusia rasional yang merupakan lanjutan dari manusia organisasi, ialah manusia kerja melalui kemampuan perencanaan dan pelaksanaan. Manajemen mempunyai tiga aspek yang merupakan: (a) bentuk kerja sama (tim kerja sama, ikatan tanpa emosi/disiplin); (b) sistem kerja (produser kerja); (c) tipe kepemimpinan (fungsi pemimpin). Manajemen juga dikatakan adalah “pengendalaian dari pada badan usaha melalui salah satu unsurnya dengan menitik beratkan pada unsur manusia”. Koontz (dalam Anonim: 2000: 2) mengatakan “managemen is the function of getting things done trough other”. Fungsi manajemen meliputi: (1) perencanaan; (2) pengorganisasian; (3) motivasi; (4) pengarahan; (5) pengawasan dan merupakan fungsi yang berurutan atau seksuensial, namun tak boleh diabaikan fungsi-fungsi berkelanjutan yaitu: (a) analilis persoalan; (b) pengambilan keputusan; (c) komunikasi. Fungsi-fungsi terjadi dalam suatu proses manajemen dan relevan dengan semua tipe dan tingkah laku organisasi termasuk mengelolah rumah tangga, dan tugas utama manajemen adalah: (1) berpikir konseptual, kemampuan memahami kompleksitas organisasi secara kkeseluruhan; (2) mengelola unsur administrasi; (3) memimpin para anggotanya dalam aktivitas manajemen.

Manajemen memerlukan adanya kompetensi karena bertugas menggambarkan misi yang tidak ringan. Dricker (dalam Anonim: 2000: 4) mengatakan ada dua misi khusus (1) menciptakan suatu kenyataan ada/enthy yang produktif; (2) mengharmonisasikan setiap keputusan dan tindakan, dalam rangka tujuan dan sasaran jangka pendek dan jangka panjang. Misi khusus bertujuan (1) menyusun tujuan dan sasaran; (2) mengorganisasikan; (3) memotivasikan standar prestasi; (4) membina orang-orangnya termasuk diri sendiri. Bagian misi pekerjaan. Manajemen sebagai berikut:

Agar dapat melakukan misinya seorang manajer dituntut agar memiliki kemampuan. Kemampuan tersebut ada 3 yaitu:

1. Kemampuan konseptual, seorang manajer menjadi seneralis.
2. kemampuan sosial, manajer tak bisa bekerja sendiri saja.
3. kemampuan teknis, menekankan pada aspek keterampilan profesional.

Selanjutnya Anonim (2000: 5) menyatakan bahwa manajer perlu memiliki keahlian:

1. Memahami perilaku bawahan masa lampau
2. Meramalkan perilaku bawahan waktu mendatang
3. Kepandaian mengerahkan dan mengendalikan perilaku bawahan.

Kemudian pernyataan tersebut dilanjutkan dengan menyebutkan bahwa, manajemen efektif adalah bersifat situasional perlu berpijak pada persyaratan-persyaratan tertentu yang merupakan kondisi umum bagi keberhasilan dan aktivitas manajemen dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Adanya tujuan dan sasaran yang yang jelas
2. Adanya tanggung jawab dan peranan yang jelas
3. Adanya peraturan dan prosedur yang jelas
4. Adanya keluwesan untuk berubah
5. Adanya suasana interval yang menimbulkan tercapainya prestasi yang berkualitas tinggi atau kondisi.

Dalam proses manajemen melibatkan fungsi-fungsi pokok yang ditampilkan oleh seorang pemimpin atau manajer: perencanaan, pengorganisasian kepemimpinan, adn pengawasan. Winarso (1991: 4) memberi bobot kegiatan pemimpin dari keempat fungsi manajem pada kegiatan kepemimpinan sebab yang dihadapi dalam usaha mempengaruhi, membimbing, mengarahkan, dan menggerakkan adalah 6 M (Man, Money, Material, Machine, Methods, and Markets) sehingga tercapai tujuan organisasi yang efisien dan efektif. Senada dengan itu Stogdill (dalam Wahjosumidjo, 1994: 23) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah titik sentral proses kegiatan kelompok, sebab dalam kehidupan organisasi, dari kepemimpinan diharapkan lahirnya perubahan kegiatan, dan seluruh proses kegiatan kelompok. Oleh karena itu kepemimpinan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan kelompok dan merupakan inti dari proses manajemen.

Kepemimpinan merupakan kemampuan seseorang sedangkan pemimpin merupakan orang yang diakui dan diterima oleh orang lain atau kelompok sebagai pribadi yang mempunyai kemampuan tersebut. Mengenai timbulnya seorang pemimpin atas asal usul seorang pemimpin yang efektif, para ahli dan praktis kepemimpinan yang mempunyai pandangan yang berbeda, menurut Siagian (1994: 9) perbedaan pandangan tersebut secara umum dapat dibedakan pada dua kubu yang masing-masing secarah gigih membela pendirian dan pendapatnya.

Kubu yang pertama berpendapat bahwa “pemimpin dilahirkan” pandangan ini berkisar pada pendapat bahwa seorang hanya akan manjadi pemimpin yang efektif karena ia dilahirkan dengan bakat-bakat kepemimpinan. Pandangan ini diwarnai oleh filsafat hidup yang diterministik dalam arti adanya kenyakinan para penganutnya bahwa jika seorang memang sudah “ditakdirkan” menjadi pemimpin, terlepas dari perjalanan hidup bersangkutan, akan timbul situasi yang menempatkan orang yang bersangkutan tampil sebagai pemimpin yang efektif dalam menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinan. Dengan demikian pandangan ini mengangagap bahwa tidak seorang pemimpin yang efektif bila tidak dilahirkan dengan bakat-bakat kepemimpinan.

Kubu yang kedua berpendapat bahwa “pemimpin dibentuk dan ditempa”. Pandangan ini berkisar pada pendapat yang mengatakan efektivitas kepemimpinan seseorang yang dapat dibentuk dan ditempa dengan alam memberikan kesempatan yang luas kepada yang bersangkutan untuk menumbuhkan dan mengembangkan efektivitas kepemimpinannya melalui berbagai kegiatan pendidikan dan latihan kepemimpinan. Dengan pendidikan dan pelatihan kepemimpinan yang terarah dan intensif, seseorang dapat belajar tentang berbagai hal yang menyangkut masalah efektivitas kepemimpinan yang akan mengarahkan seseorang untuk menemukan dirinya sebagai pemimpin yang efektif.

Menurut Siagian (1994: 11) paradigma kepemimpinan yang efektif harus didasarkan pada kedua kubu tersebut, sehingga seseorang hanya akan menjadi pemimpin yang efektif apabila : (1) seorang secara genetika telah memiliki bakat kepemimpinan. (2) bakat-bakat tersebut dipupuk dan dikembangkan melalui kesempatan untuk menduduki jabatan kepemimpinan (3) ditopang oleh pengetahuan teoritikal yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan, baik yang bersifat umum maupun yang menyangkut teori kemampuan.

Defenisi kepemimpinan yang telah diungkapkan oleh banyak ahli diantaranya : Ordway Tead (dalam Sutarto, 1986: 12) beranggapan bahwa kepemimpinan adalah aktivitas mempengaruhi orang-orang agar mau bekerja sama untuk mencapai beberapa tujuan yang mereka inginkan. Selanjutnya Stogdill (dalam Sutarto, 1986: 13) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kegiatan-kegiatan kelompok oang yang terorganisir dalam usaha mereka menetapkan tujuan dan mencapai tujuan. Oleh karena itu kegiatan si pemimpin adalah mengarahkan tingkah laku orang lain ke suatu tujuan tertentu. Selanjutnya Keating (1986: 9) melihat kepemimpinan itu adalah proses dengan berbagai cara mempengaruhi orang atau kelompok orang untuk mencapai suatu tujuan bersama.

Koontz (1992: 147) mengemukakan bahwa kepemimpinan merupakan pengaruh, seni, atau proses mempengaruhi orang-orang sehingga mereka akan berusaha mencapai tujuan kelompok dengan kemempuan dan antuasias. Robert (dalam Thoha, 1996: 227) mengartikan kepemimpinan itu sebagai pelaksanaan otoritas dan pengambilan keputusan. Sementara itu Hemphill (dalam Thoha, 1996: 227) mengartikan kepemimpinan adalah suatu inisiatif untuk bertindak yang menghasilkan suatu pola yang konsisten dalam rangka mencari jalan pemecahan dari suatu persoalan bersama.

Defenisi kepemimpinan tersebut di atas memberi arahan untuk membuat suatu kesimpulan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses interaksi antara pemimpin sebagai orang yang lebih berpengaruh untuk mengarahkan seluruh jajaran dan sumber daya organisasi yang dipimpinnya, dalam rangka mencapai tujuan yang ditetapkan. Untuk mendapatkan hasil yang terbaik, maka pemimpin harus menjadi agen perubahan yang menerima ide-ide baru, tanggap terhadap kebutuhan bawahannya, dan siap menjadi fasilitator dan inisiator, serta mau dan mampu melaksanakan ide-ide baru yang disepakati.

Kepemimpinan sebagai suatu konsep manajemen di dalam kehidupan organisasi mempunyai kedudukan strategis karena kepemimpinan merupakan titik sentral dan dinamisator seluruh proses kegiatan organisasi. Oleh karena itu, kepemimpinan selalu diperlukan di dalam kehidupan kelompok yang bekerja dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Kepemimpinan merupakan kemampuan seseorang sedangkan pemimpin merupakan orang yang diakui dan diterima oleh orang lain atau kelompok sebagai pribadi yang mempunya kemampuan tersebut.

Kemampuan yang dimiliki oleh setiap pemimpin itu tidak selalu sama karena adanya keterbatasan dan kelebihan-kelebihan tertentu pada diri manusia. Perbedaan itu dapat dilihat dari metode/cara pemimpin untuk

mengarahkan anggota untuk mencapai tujuan atau menyelesaikan pekerjaan. Hal itu disebabkan oleh latar belakang dan pengalaman serta pengetahuan setiap pemimpin tidak sama.

B. Pengertian Pemimpin dan Kepemimpinan

Kepemimpinan mencerminkan asumsi bahwa kepemimpinan menyengkut sebuah proses pengaruh sosial yang dalam hal ini pengaruh yang sengaja dijalankan oleh seseorang terhadap orang lain untuk mengatur aktivitas-aktivitas serta hubungan-hubungan di dalam sebuah kelompok atau organisasi.

Berbagai pendapat tentang pemimpin dan kepemimpinan dikemukakan oleh para ahli, namun dari berbagai macam literatur tidak ada kesepakatan mengenai definisi tersebut. Beberapa defenisi yang dikemukakan itu dipelopori oleh Frederick Winslow Taylor pada abad ke-20 dan berkembang menjadi suatu ilmu kepemimpinan yang menyatakan kepemimpinan tidak lagi didasarkan pada bakat dan pengalaman saja, tetapi pada penyiapan secara berencana, melatih calon-calon pemimpin, semuanya dilakukan lewat perencanaan, penyelidikan, percobaan, analilis, supervisi, serta sifat kepemimpinan yang unggul agar mereka berhasil dalam tugasnya.

Pemimpin mengacu pada oarngnya (manusia), sedangkan kepemimpinan terutama mengacu kepada sifat, gaya, perilaku, dan seni yang digunakan untuk memimpin. Setiap pemimpin seyogyanya memiliki kepemimpinan namun tidak semua pemimpin memiliki kepemimpinan yang ideal diterapkan pada organisasi dimana ia ditetapkan sebagai seorang pemimpin. Seorang pemimpin dapat saja memiliki beberapa gaya kepemimpinan namun demikian senantiasa pada diri seseorang pemimpin akan tanpak gaya kepemimpinan yang paling menonjol.

Kartono (1993: 33-34) membberikan definisi pemimpin. Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya disatu bidang, sehingga ia mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas tertentu demi pencapaian tujuan.

Pemimpin merupakan seorang yang memiliki kelebihan, sehingga dia mempunya kekuasaan dan kewibawaan untuk mengarahkan dan membimbing bawahannya, sehingga dapat mengarahkan mereka ke arah pencapaian tujuan yang telah disepakati. Pemimpin menciptakan suatu perubahan yang paling efektif dalam penampilan kelompoknya. Pemimpin merupakan orang yang menempati peranan sentral atau posisi dominan dan pengaruh dalam suatu kelompok. Dengan demikian inti dari pengertian pemimpin adalah peranan kunci, dominasi serta pengaruh.

Kepemimpinan adalah suatu proses keadaan dimana orang-orang karena kemampuan untuk mengulangi masalah-masalah dalam kehidupan kelompoknya, diikuti oleh orang lain di dalam kelompok tersebut, serta dapat mendorong serta dapat mempengaruhi tingkah laku mereka.

Dari definisi di atas, kepemimpinan dapat didasarkan atas pengaruh dalam diri pribadi seseorang yang secara spontan tergerak baik fisik, keberanian, kepeduluian, atau atas dasar suatu prestasi yang diperoleh dari keahlian, pengetahuan dan berbagai faktor lainnya. Kepemimpinan merupakan tingkatan mengorganisir dan mengarahkan berbagai aktivitas serta kepentingan kelompok maupun perseoranggan dalam ikatan proyek ataupun perusahaan tertentu oleh seseorang yang membangun suatu kerja sama melalui pengalaman dan pemeliharaan guna mencapai tujuan bersama.

Terri dalam Kartono (1993: 49) dikatakan hawa kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang agar mereka suka berusaha mencapai tujuan-tujuan kelompok.

Berdasarkan uraian tentang kepemimpinan seperti yang telah dikemukakan di atas, maka secara sederhana dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses penerapan dan penggunaan kemampuan, kekuasaan, mengambil keputusan dan memiliki kemampuan, mengatasi masalah yang muncul dalam kelompoknya.

Berkenaan dengan hal tersebut maka perlu diketahui bahwa beberapa hal penting dalam kepemimpinan, antara lain : (1) Kemampuan melihat organisasi secara keseluruhan; (2) Kemampuan mengambil keputusan-keputusan; (3) Kemampuan mendelegasikan wewenang; dan (4) Kemampuan menanamkan kesetiaan.

Kepemimpinan pada dasarnya adalah salah satu faktor yang harus ada dalam organisasi, sebab suatu organisasi terdiri dari sekelompok orang yang bekerja di bawah pengarahan kepemimpinan bagi pencapaian tujuan yang pasti. Sehingga dapat dikatakan bahwa kepemimpinan mempengaruhi perilaku orang lain dalam situasi tertentu agar bersedia bekerjasama untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.

C. Teori Kepemimpinan

Kegiatan manusia secara bersama-sama selalu membuktikan kepemimpinan. Jadi harus ada pemimpin demi sukses dan efisiensi kerja. Untuk bermacam-macam usaha dan kegiatan manusia yang jutaan banyaknya ini diperlukan upaya yang terencana dan sistematis untuk melatih dan mempersiapkan pemimpin-pemimpin baru. Oleh karena itu banyak studi dan penelitian dilakukan orang untuk mempelajari masalah pemimpin dan kepemimpinan. Dan para sarjana telah memberikan berbagai defenisi mengenai pemimpin dan kepemimpinan, dengan menonjolkan satu atau beberapa aspek tertentu sesuai dengan ide pencetus definisi tersebut, beserta interpretasinya.

Banyak sekali studi ilmiah yang telah dilakukan oleh teoritikus mengenai kepemimpinan, dan hasilnya berupa teori-teori tentang kepemimpinan yang mempunyai penekanan pada sisi lain yang berbeda. Dan para penganutnya berkeyakinan bahwa teori itulah yang paling benar dan paling tepat.

Menurut Terry dikemukakan bahwa teori-teori kepemimpinan terdiri dari : (1) teori otokratis (2) teori psikologis (3) teori sosiologi (4) teori suportif (5) teori laissez faire (6) teori kelakuan pribadi (7) teori situasi dan (8) teori humanistik/ populistik.

Dari pendapat tersebut di atas maka dapat dijelaskan teori-teori kepemimpinan yang dimaksud dengan uraian sebagai berikut :

(1) Teori Otokratis

Kepemimpinan menurut teori ini berdasarkan atas perintah-perintah, paksaan dan tindakan-tindakan yang arbitrer (sebagai wasit). Ia melakukan pengawasan yang ketat, agar semua pekerjaan berlangsung secara efisien. Kepemimpinannya berorientasikan pada struktur organisasi dan tugas-tugas.

Pemimpin tersebut pada dasarnya selalu mau berperan sebagai pemain tunggal dan berambisi untuk merajai situasi. Pemimpin yang masuk ke dalam teori ini selalu memberikan perintah-perintah yang dipaksakan dan harus dipatuhi, menentukan kebijakan untuk semua pihak tanpa berkonsultasi dengan para anggota, dan tidak memberikan informasi secara detail mengenai rencana yang akan datang.

(2) Teori Psikologis

Teori ini menyatakan, bahwa fungsi seorang pemimpin adalah memunculkan dan mengembangkan sistem motivasi tterbaik, untuk merangsang kesediaan bekerja dari para pengikut dan anak buah. Pemimpin merangsang bawahan, agar mereka mau bekerja, guna mencapai sasaran-sasaran organisatoris maupun untuk memenuhi tujuan-tujuan pribadi.

Teori ini lebih mengedepankan aspek-aspek psikologis manusia, seperti : pengakuan, martabat, status sosial, kepastian emosional, memperhatikan keinginan dan kebutuhan pegawai, kegairahan kerja, minat, suasana hati dan lain-lain.

(3) Teori Sosiologis

Kepemimpinan dianggap sebagai usaha-usaha untuk melancarkan antar-relasi dalam organisasi, dan sebagai usaha untuk menyelesaikan setiap konflik organisatoris antara para pengikutnya, agar tercapai kerjasama yang baik. Pemimpin menetapkan tujuan-tujuan dengan menyertakan para pengikut dalam pengambilan keputusan terakhir.

Setiap anggota mengetahui hasil apa, keyakinan apa, dan kelakuan apa yang diharapkan kepada mereka oleh pemimpin dan kelompoknya. Pemimpin diharapkan dapat mengambil tindakan-tindakan korektif apabila terdapat kepincangan-kepincangan dan penyimpangan-penyimpangan dalam organisasi.

(4) Teori Suportif

Menurut teori ini, para pengikut harus berusaha sekuat mungkin, dan bekerja dengan penuh gairah. Sedangkan pemimpin akan membimbing dengan sebaik-baiknya melalui kebijakan tertentu. Untuk maksud ini, pemimpin perlu menciptakan suatu lingkungan kerja yang menyenangkan, dan bisa membantu mempertebal keinginan setiap pengikutnya untuk melaksanakan pekerjaan sebaik mungkin, sanggup bekerjasama dengan pihak lain, mau mengembangkan bakat dan keterampilannya dan menyadari benar keinginan sendiri untuk maju.

Ada pihak yang menanamkan teori suportif ini sebagai teori partisipatif, dan ada pula yang menanamkannya sebagai teori kepemimpinan demokratis.

(5) Teori Laissez Faire

Kepemimpinan laissez faire ditampilkan oleh seorang tokoh yang sebenarnya tidak becus mengurus, dan dia menyerahkan semua tanggung jawab serta pekerjaan kepada bawahan atau kepada semua anggotanya. Dan dia sebagai ketua yang bertindak sebagai simbol, dengan macam-macam hiasan atau ornamen yang mentereng. Biasanya dia tidak memiliki keterampilan teknis, sedangkan kedudukan sebagai pemimpin dimungkinkan oleh sistem nepotisme, atau lewat praktek penyuapan.

Pendeknya, pemimpin laissez faire itu pada intinya bukanlah seorang pemimpin dalam pengertian yang sebenarnya. Semua anggota yang dipimpinnya bersikap santai-santai dan bermotto “lebih baik tidak usah bekerja”. Mereka menunjukkan sikap acuh tak acuh. Sehingga kelompok tersebut praktis menjadi tidak terbimbing dan tidak terkontrol.

(6) Teori Kepemimpinan Pribadi

Kepemimpinan jenis ini akan muncul berdasarkan kualitas-kualitas pribadi atau pola-pola kelakuan para pemimpinnya. Teori ini menyatakan, bahwa seorang pemimpin itu selalu berkelakuan kurang lebih sama, yaitu ia tidak pernah melakukan tindakan-tindakan yang identik sama dalam setiap situasi yang dihadapi. Dengan kata lain, dia harus mampu bersikap fleksibel, luwes, bijaksana, dan mempunyai daya lenting yang tinggi, karena dia harus mampu mengambil langkah-langkah yang paling tepat untuk suatu masalah. Sedang masalah sosial itu tidak akan pernah identik dalam waktu yang berbeda.

(7) Teori Situasi

Teori ini menjelaskan, bahwa harus terdapat daya lenting yang tinggi/ fleksibilitas pada pemimpin untuk menyesuaikan diri terhadap tuntutan situasi, lingkungan sekitar dan zamannya. Teori situasi ini lebih menitikberatkan pada dinamika interaksi antara pemimpin dengan bawahan melalui interaksi, untuk menjaring dan memenuhi harapan dan keinginan bawahan secara mendasar. Sebab bawahan itu adalah subyek yang memiliki keinginan, perasaan dan harapan yang harus diperhatikan oleh pemimpin.

(8) Teori Humanistik/ Populistik

Fungsi kepemimpinan menurut teori ini adalah merealisir kebebasan manusia dan memenuhi segenap kebutuhan insani, yang dicapai melalui interaksi pemimpin dengan bawahan. Untuk melakukan hal ini perlu adanya organisasi yang baik dan pemimpin yang baik, yang mau memperhatikan kepentingan dan kebutuhan bawahan.

Fokus dari teori ini adalah bawahan dengan segenap harapan dan kebutuhan harus diperhatikan, dan pemerintah mau mendengar suara hati nurani rakyat, agar tercapai organisasi yang makmur, adil dan sejahtera bagi setiap warga negara dan individu.

D. Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan banyak mempengaruhi keberhasilan sorang pemimpin dalam mempengaruhi perilaku bawahannya. Istilah gaya secara kasar adalah sama dengan cara yang digunakan pemimpin di dalam mempengaruhi para pengikutnya. Kepemimpinan suatu organisasi perlu mengembangkan staf dan membangun iklim motivasi yang menghasilkan tingkat produktivitas yang tinggi, maka pemimpin perlu memikirkan tingkat gaya kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang dihunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat. Usaha menyelaraskan persepsi di antara orang akan mempengaruhi menjadi amat penting kedudukannya.

Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mengetahui kesuksesan pemimpin ialah dengan mempelajari gayanya, karena gaya kepemimpinan banyak mempengaruhi keberhasilan seorang pemimpin dalam mempengaruhi perilaku bawahannya.

Istilah gaya secara kasar adalah sama dengan cara yang dipergunakan pemimpin dalam mempengaruhi para pengikutnya. Thoha (1997:52) mengatakan bahwa gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain. Dalam hal ini usaha menyelaraskan persepsi di antara orang yang akan mempengaruhi dengan orang yang perilakunya dipengaruhi menjadi sangat penting kedudukannya.

Gaya kepemimpinan ialah cara pemimpin membawa diri sebagai pemimpin, cara berlagak dalam menggunakan kekuasaannya, misalnya (1) gaya kepemimpinan otoriter, (2) gaya kepemimpinan demokratis, (3) gaya kepemimpinan paternalistik. Selanjutnya Keating (1986:9) mengatakan bahwa gaya kepemimpinan hanya ada dua macam, yaitu: (1) gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas (task oriented) dan (2) gaya kepemimpinan yang berorientasi pada manusia (Human relationship oriented).

Dalam berbagai literatur ditemukan istilah gaya kepemimpinan dari tipe kepemimpinan secara bersamaan. Antara gaya kepemimpinan dan tipe kepemimpinan diartukan sebagai suatu yang identik, seperti yang dikemukakan oleh Siagian (1994:30) bahwa gaya kepemimpinan seseorang akan identik dengan tipe kepemimpinan orang yang bersangkutan yang meliputi: (1) gaya/tipe otokratik, (2) gaya/tipe paternalistik, (3) gaya/tipe kharismatik, (4) gaya/tipe laissez-faire, dan (5) gaya/tipe demokratis.

Lewin, Lippit, dan White (dalam Salusu: 1996: 194) mengemukakan bahwa pada dasarnya ada tiga gaya kepemimpinan, yaitu: otokratik, demokratik dan laissez-faire, kemudian gatto (dalam Salusu: 1996: 194) melengkapi menjadi empat, yaitu: direkatif, konsultatif, partisipatif, dan delegatif.

Menurut Siagian (1994:32) bahwa persoalan yang mendasar apabila membahas masalah kepemimpinan. Di satu sisi para ahli berpendapat bahwa gaya kepemimpinan seseorang bersifat fixed sehingga tidak berubah meskipun.

Gaya kepemimpinan banyak mempengaruhi keberhasilan seorang pemimpin dalam mempengaruhi perilaku bawahannya. Istilah gaya secara kasar adalah sama dengan cara yang dipergunakan pemimpin di dalam mempengaruhi para pengikutnya. Kepemimpinan suatu organisasi perlu mengembangkan staf dan membangun iklim motivasi yang menghasilkan tingkat produktivitas yang tinggi, maka pemimpin perlu memikirkan gaya kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain.

Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mengetahui kesuksesan pemimpin ialah dengan mempelajari gayanya, karena gaya kepemimpinan banyak mempengaruhi keberhasilan seseorang pemimpin dalam mempengaruhi bawahannya.

Menurut teori situassional Siagian (1994:18) seorang pemimpin yang menjadi demokratik sekalipun akan mengubah gaya kepemimpinan, misalnya menjadi demokratik apabila situasi menuntutnya demikian. Begitu pula yang paling otokratik, mungkin saja bertindak otoriter pada situasi yang lain.

Menurut Harsei dan Blancard (dalam Thoha, 1996:278) bahwa konsepsi kepemimpinan situasional adalah dengan memperhatikan variabel-variabel yang penting, misalnya: organisasi, tugas-tugas, pekerjaan, pengawasan, dan waktu kerja akan tetapi penekanan dalam kepemimpinan situasional hanyalah pada perilaku pemimpin dan bawahan saja.

Dari konsep dasar kepemimpinan situasi adalah kedewasaan/kematangan bawahan. Begitu tingkat kedewasaan berusaha menyelesaikan suatu tugas meningkat, maka manajer harus mengurangi orientasi pada tugasn, dan mulai meningkatkan orientasi pada hubungan (hubungan atasan-bawahan), sampai bawahan mencapai tingkat sedang. Begitu bawahan mulai bergerak tingkat kedewasaannya dari sedang ke dewasa, adalah tepat saatnya bagi manajer yang mengurangi baik orientasi kepada bawahan maupun orientasi kepada tugas.

Dengan demikian, bawahan tidak saja dewasa menyelesaikan tugas, tetapi juga dewasa secara psikologis. Kepemimpinan situasi yang menggunakan konsep dsar kedewasaan/kematangan bawahan ini baru berarti apabila peran pemimpin/manajer dalam memotivasi bawahan tepat diberikan kepada bawahan sesuai dengan tingkat kedewasaannya. Dengan demikian, organisasi dapat menjadi efektif.

Sehubungan dengan konsep dasar kepemimpinan situasi yang menggunakan kedewasaan bawahan maka gaya kepemimpinan atasan sangat terkait dengannya.

Pentingnya gaya kepemimpinan diterapkan kepada bawahan sesuai dengan kedewasaan/kematangan bawahan merupakan persyaratan mutlak keefektifan kepemimpinan dalam keberhasilan organisasi.

Gaya kepemimpinan banyak mempengaruhi keberhasilan seorang pemimpin dalam mempengaruhi perilaku bawahannya. Istilah gaya secara kasar adalah sama dengan cara yang dipergunakan pemimpin di dalam mempengaruhi para pengikutnya. Kepemimpinan suatu organisasi perlu mengembangkan staf dan membangun iklim motivasi yang menghasilkan tingkat produktivitas yang tinggi, maka pemimpin perlu memikirkan gaya kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain.

Dengan demikian, kepemimpinan seorang pemimpin harus dapat menjalin hubungan pribadi yang baik antara yang dipimpin dengan yang memimpin, sehingga timbul rasa saling hormat-menghormati, percaya-mempercayai, saling tolong-menolong, dan rasa senasip sepenanggungan. Jadi, seorang pemimpin harus mampu berpikir secara sistematis dan teratur, mempunyai pengalaman dan pengetahuan serta mampu menyusun rencana tentang apa yang akan dilakukan.

Perilaku kepemimpinan atau leadership behavior tentu tidak dapat dilepaskan dari pembahasan tentang leadership style atau gaya kepemimpinan. Berbicara tentang kepemimpinan, orang cenderung berasosiasi tentang ungkapan klasik mengenai gaya kepemimpinan. Menurut Kusmintarjo dan Burhanuddin (1997-10) bahwa “Kepemimpinan itu situasional, artinya suatu gaya kepemimpinan dapat efektif untuk situasi tertentu dan kurang efektif untuk situasi yang lain. Ternyata gaya-gaya itu bervariasi adanya. Tergantung pada situasi kematangan bawahan (terpimpin) yang akan dibinanya.

Pada dasarnya, ada tiga gaya kepemimpinan seperti yang dikembangkan oleh Lewin, Lippit, dan White yaitu: Otokratik, Demokratik, dan Laissez-faire, kemudian dilengkapi menjadi empat, yaitu gaya direktif, gaya konsultatif, gaya partisipatif, dan gaya delegasi (Gatto, dalam Salusu, 1996).

Menurut Rustandi (1987:27-28) dijelaskan bahwa gaya kepemimpinan ada empat macam, yaitu:

1. Gaya Kepemimpinan Otokratis

Gaya ini kadang-kadang dikatakan kepemimpinan terpusat pada diri pemimpin atau gaya direktif. Gaya ini ditandai dengan sangat banyaknya petunjuk yang datangnya dari pemimpin dan sangat terbatasnya bahkan sama sekali tidak adanya peran serta anak buah dalam perencanaan dan pengambilan keputusan.

Pemimpin secara sepihak menentukan peran serta apa, bagaimana, kapan, dan bilamana berbagai tugas harus dikerjakan. Yang menonjol dalam gaya ini adalah pemberian perintah.

Pemimpin otokratis adalah seseorang yang memerintah dan menghendaki kepatuhan. Ia memerintah berdasarkan kemampuannya untuk memberikan hadiah serta menjatuhkan hukuman.

Gaya kepemimpinan otokratis adalah kemampuan mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dengan cara segala kegiatan yang akan dilakukan semata-mata diputuskan oleh pimpinan.

Adapun ciri-ciri gaya kepemimpinan otokratis adalah sebagai berikut:

1.1 Wewenang mutlak terpusat pada pemimpin;

1.2 Keputusan selalu dibuat oleh pemimpin;

1.3 Kebijakan selalu dibuat oleh pemimpin;

1.4 Komunikasi berlangsung satu arah dari pimpinan kepada bawahan;

1.5 Pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan atau kegiatan para bawahannya dilakukan secara ketat;

1.6 Tidak ada kesempatan bagi bawahan untuk memberikan saran pertimbangan atau pendapat;

1.7 Tugas-tugas bawahan diberikan secara instruktif;

1.8 Lebih banyak kritik dari pada pujian, menuntut prestasi dan kesetiaan sempurna dari bawahan tanpa syarat, dan cenderung adanya paksaan, ancaman, dan hukuman.

1. Gaya Kepemimpinan Birokratis

Gaya ini dapat dilukiskan dengan kalimat “memimpin berdasarkan peraturan”. Perilaku pemimpin ditandai dengan keketatan pelaksanaan prosedur yang berlaku bagi pemipin dan anak buahnya.

Pemimpin yang birokratis pada umumnya membuat keputusan-keputusan berdasarkan aturan yang ada secara kaku tanpa adanya fleksibilitas. Semua kegiatan hampir terpusat pada pimpinan dan sedikit saja kebebasan orang lain untuk berkreasi dan bertindak, itupun tidak boleh lepas dari ketentuan yang ada.

Adapun karakteristik dari gaya kepemimpinan birokratis adalah sebagai berikut:

2.1 Pimpinan menentukan semua keputusan yang bertalian dengan seluruh pekerjaan dan memerintahkan semua bawahan untuk melaksanakannya;

2.2 Pemimpin menentukan semua standar bagaimana bawahan melakukan tugas;

2.3 Adanya sanksi yang jelas jika seorang bawahan tidak menjalankan tugas sesuai dengan standar kinerja yang telah ditentukan.

1. Gaya Kepemimpinan Demokratis

Gaya kepemimpinan demokratis adalah kemampuan mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan cara berbagai kegiatan yang akan dilakukan ditentukan bersama antara pimpinan dan bawahan.

Gaya ini kadang-kadang disebut juga gaya kepemimpinan yang terpusat pada anak buah, kepemimpinan dengan kesederajatan, kepemimpinan konsultatif atau partisipatif. Pemimpin kerkonsultasi dengan anak buah untuk merumuskan tindakan keputusan bersama.

Adapun ciri-cirinya sebagai berikut:

3.1 Wewenang pemimpin tidak mutlak;

3.2 Pimpinan bersedia melimpahkan sebagian wewenang kepada bawahan;

3.3 Keputusan dan kebijakan dibuat bersama antara pimpinan dan bawahan;

3.4 Komunikasi berlangsung secara timbal balik, baik yang terjadi antara pimpinan dan bawahan maupun sesama bawahan;

3.5 Pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan atau kegiatan para bawahan dilakukan secara wajar;

3.6 Prakarsa dapat datang dari pimpinan maupun bawahan;

3.7 Banyak kesempatan bagi bawahan untuk menyampaikan saran, pertimbangan atau pendapat;

3.8 Tugas-tugas kepada bawahan diberikan dengan lebih bersifat permintaan dari pada intruksi;

3.9 Pimpinan memperhatikan dalam bersikap dan bertindak, adanya saling percaya, saling menghormati.

1. Gaya Kepemimpinan Laissez Faire

Gaya ini mendorong kemampuan anggota untuk mengambil inisiatif. Kurang interaksi dan kontrol yang dilakukan oleh pemimpin, sehingga gaya ini hanya bisa berjalan apabila bawahan memperlihatkan tingkat kompetensi dan keyakinan akan mengejar tujuan dan sasaran cukup tinggi.

Dalam gaya kepemimpinan ini, pemimpin sedikit sekali menggunakan kekuasaannya atau sama sekali membiarkan anak buahnya untuk berbuat sesuka hatinya. Adapun ciri-ciri gaya kepemimpinan Laissez Faire adalah sebagai berikut:

4.1 Bawahan diberikan kelonggaran atau fleksibel dalam melaksanakan tugas-tugas, tetapi dengan hati-hati diberi batasan serta berbagai produser;

4.2 Bawahan yang telah berhasil menyelesaikan tugas-tugasnya diberikan hadiah atau penghargaan, di samping adanya sanksi-sanksi bagi mereka yang kurang berhasil, sebagai dorongan;

4.3 Hubungan antara atasan dan bawahan dalam suasana yang baik secara umum manajer bertindak cukup baik;

4.4 Manajer menyampaikan berbagai peraturan yang berkaitan dengan tugas-tugas atau perintah, dan sebaliknya para bawahan diberikan kebebasan untuk memberikan pendapatannya;

Sedangkan menurut Max Weber (dalam Ridwan Nasir, 2005:17) meninjau masalah kepemimpinan dari segi legalitas otorita. Max Weber membedakan legalitas otorita menjadi 3, yaitu otorita rasional, otorita tradisional dan otorita kharismatik. Otorita rasional mempunyai hubungan lebih formal dan birokratik, yang lebih mendasarkan pada kompetensi teknik. Otorita tradisional mempertahankan legalitas otorita, dan menuntut orang lain mengakui otoritanya berdasarkan tradisi. Sedangkan legalitas otorita kharismatik diperoleh seseorang karena kharisma pribadinya, bukan berdasar kemudahan sosial atau kompetensi teknik. Kharisma pribadi tersebut dijabarkan dalam sifat-sifat seperti suci, keturunan unggul, kepribadian atau tanda-tanda yang diperkirakan menjadi indikator sifat-sifat tersebut.

Sehubungan dengan hal ini, Sutanto (dalam Kepemimpinan Kyai, 1999:13) mengaitkan legalitas otorita Max Weber menjadi gaya atau tipe kepemimpinan yang diterapkan pondok pesantren. Adapun gaya atau tipe kepemimpinan yang banyak dijumpai di pondok pesantren yaitu :

1. Gaya atau tipe kepemimpinan rasional yaitu tipe kepemimpinan yang mengacu pada suatu pola kepemimpinan yang bersifat kolektif di mana tingkat partisipasi komunitas lebih tinggi, struktur keorganisasian lebih komplek dan sentra kepemimpinan tidak mengarah kepada satu individu melainkan mekanisme kepemimpinan diatur secara manajerial.
2. Gaya atau tipe kepemimpinan tradisional yakni suatu tipe kepemimpinan yang membutuhkan legitimasi formal komunitas pendukungnya dengan cara mencari kaitan keturunan dari tipe kepemimpinan kharismatik.
3. Sedangkan gaya atau tipe kepemimpinan kharismatik yaitu suatu tipe kepemimpinan yang mengacu pada satu figur sentral yang dianggap oleh komunitas pendukungnya memiliki kekuatan supranatural dari Allah, kelebihan dalam berbagai bidang keilmuan, partisipasi komunitas dalam mekanisme kepemimpinan kecil, dan mekanisme kepemimpinan tidak diatur secara birokratik.

Dengan adanya model kepemimpinan yang bertalian langsung terhadap produktivitas, maka Likert (dalam Wihjosumidjo, 1994:73), mengemukakan pendapatnya bahwa suatu organisasi yang tidak produktif disebabkan adanya kecendrungan pemimpin ke arah gaya kepemimpinan otoriter, sebaliknya produktivitas tinggi yang dapat dicapai oleh organisasi, banyak ditentukan oleh adanya gaya kepemimpinan yang konsultatif atau gaya kepemimpinan partisipatif.

Demikian pula apa yang dikemukakan oleh Wendel French (dalam Winardi, 1995:81), mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang berkaitan dengan persoalan kepemimpinan yang perlu diperhatikan secara simultan. Di mana misalnya dapat berusaha untuk memperbaiki iklim organisasi yang membantu kepemimpinan secara efektif.

Selanjutnya Anonim (1999:9) mengemukakan bahwa : kepemimpinan yang berhasil adalah suatu proses kepemimpinan yang dapat memenuhi kebutuhan dari masing-masing situasi dan dapat memilih/menerapkan teknik atau gaya kepemimpinan yang sesuai dengan tuntutan situasi tersebut.

Seorang pemimpin dapat melaksanakan macam-macam gaya kepemimpinan, yang sebagian besar tergantung dari pada watak orang yang bersangkutan. Tetapi, seorang pemimpin yang bijaksana senantiasa akan berusaha untuk menerapkan gaya kepemimpinan yang paling sesuai dengan situasi serta kondisi yang dihadapinya. Setiap pemimpin menjalankan kepemimpinan atau leadership.

Kepemimpinan pada hakekatnya merupakan produk situasional. Dalam hubungan ini, keberhasilan kepemimpinan di sekolah sebenarnya akan lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor situasi seperti: karakteristik individu yang dipimpin, pekerjaan lingkungan sekolah, kebudayaan setempat, kepribadian kelompok, dan bahkan waktu yang dimiliki oleh kepala sekolah.

Demikian pula apa yang dikemukakan oleh Wendel French (dalam Winardi, 1995:81), mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang berkaitan dengan persoalan kepemimpinan yang perlu diperhatikan secara simultan. Di mana misalnya dapat berusaha untuk memperbaiki iklim organisasi yang membantu kepentingan secara efektif. Di samping itu pula, kita dapat mengidentifikasi ciri-ciri dasar pribadi. Pendekatan ke arah kepemimpinan yang lebih efektif adalah menyesuaikan skill khususnya dengan situasi-situasi spesifik. Berdasarkan dimensi-dimensi yang didasarkan atas kekuasaan posisi, struktur tugas, dan hubungan pemimpin dengan bawahan. Para individu dapat diberikan tugas-tugas baru dan atau kelompok-kelompok dapat direstrukturisasi guna memperbaiki hubungan-hubungan pemimpin dengan para anggotanya.

peranan kepemimpinan dalam organisasi

A. Konsep Kepemimpinan

Dalam pencapaian tujuan organisasi, manajemen merupakan sarana yang paling utama, sebab manajemen pada hakikatnya adalah serangkai kegiatan yang dilaksanakan para manajer/pemimpin untuk mengerahkan, menggerakkan, dan mengarahkan segala sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan secara efisien dan efektif.

Anonim (2000: 1) mengemukakan bahwa tanpa organisasi tak ada manajemen dan sebaliknya tanpa manajemen tak ada organisiasi. Manajemen merupakan organ spesifik dari organisasi modern. Manajemen adalah organisasi kerja tempat bergantung prestasi dan keberhasilan serta kelangsungan hidup organisasi. Organisasi berkembang sejalan dengan perubahan ilmu dan teknologi yang semakin canggih disertai tantangan-tantangan baru yang harus dihadapi.

Menurut Wahjosumidjo (1994:32) bahwa ada tiga gejala penting yang dimiliki oleh setiap organisasi yaitu : (1) setiap organisasi harus mempunyai tujuan, (2) untuk mencapai tujuan tersebut harus ada program, (3) setiap organisasi harus memiliki pemimpin atau manajer yang bertanggung jawab terhadap organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Berdasarkan ketiga unsur pokok yang menandai setiap kehidupan organisasi, membarikan kesimpulan betapa pentingnya peranan manajemen di dalam eksistensi suatu organisasi dan betapa besar peranan pemimpin atau manajer dalam mengembah tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

Anonim (2000: 2) bahwa manajemen adalah proses kerja sama antara manusia dalam mencapai tujuan organisasi melalui dan dengan bantuan orang lain. Manusia manajemen adalah manusia rasional yang merupakan lanjutan dari manusia organisasi, ialah manusia kerja melalui kemampuan perencanaan dan pelaksanaan. Manajemen mempunyai tiga aspek yang merupakan: (a) bentuk kerja sama (tim kerja sama, ikatan tanpa emosi/disiplin); (b) sistem kerja (produser kerja); (c) tipe kepemimpinan (fungsi pemimpin). Manajemen juga dikatakan adalah “pengendalaian dari pada badan usaha melalui salah satu unsurnya dengan menitik beratkan pada unsur manusia”. Koontz (dalam Anonim: 2000: 2) mengatakan “managemen is the function of getting things done trough other”. Fungsi manajemen meliputi: (1) perencanaan; (2) pengorganisasian; (3) motivasi; (4) pengarahan; (5) pengawasan dan merupakan fungsi yang berurutan atau seksuensial, namun tak boleh diabaikan fungsi-fungsi berkelanjutan yaitu: (a) analilis persoalan; (b) pengambilan keputusan; (c) komunikasi. Fungsi-fungsi terjadi dalam suatu proses manajemen dan relevan dengan semua tipe dan tingkah laku organisasi termasuk mengelolah rumah tangga, dan tugas utama manajemen adalah: (1) berpikir konseptual, kemampuan memahami kompleksitas organisasi secara kkeseluruhan; (2) mengelola unsur administrasi; (3) memimpin para anggotanya dalam aktivitas manajemen.

Manajemen memerlukan adanya kompetensi karena bertugas menggambarkan misi yang tidak ringan. Dricker (dalam Anonim: 2000: 4) mengatakan ada dua misi khusus (1) menciptakan suatu kenyataan ada/enthy yang produktif; (2) mengharmonisasikan setiap keputusan dan tindakan, dalam rangka tujuan dan sasaran jangka pendek dan jangka panjang. Misi khusus bertujuan (1) menyusun tujuan dan sasaran; (2) mengorganisasikan; (3) memotivasikan standar prestasi; (4) membina orang-orangnya termasuk diri sendiri. Bagian misi pekerjaan. Manajemen sebagai berikut:

Agar dapat melakukan misinya seorang manajer dituntut agar memiliki kemampuan. Kemampuan tersebut ada 3 yaitu:

1. Kemampuan konseptual, seorang manajer menjadi seneralis.
2. kemampuan sosial, manajer tak bisa bekerja sendiri saja.
3. kemampuan teknis, menekankan pada aspek keterampilan profesional.

Selanjutnya Anonim (2000: 5) menyatakan bahwa manajer perlu memiliki keahlian:

1. Memahami perilaku bawahan masa lampau
2. Meramalkan perilaku bawahan waktu mendatang
3. Kepandaian mengerahkan dan mengendalikan perilaku bawahan.

Kemudian pernyataan tersebut dilanjutkan dengan menyebutkan bahwa, manajemen efektif adalah bersifat situasional perlu berpijak pada persyaratan-persyaratan tertentu yang merupakan kondisi umum bagi keberhasilan dan aktivitas manajemen dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Adanya tujuan dan sasaran yang yang jelas
2. Adanya tanggung jawab dan peranan yang jelas
3. Adanya peraturan dan prosedur yang jelas
4. Adanya keluwesan untuk berubah
5. Adanya suasana interval yang menimbulkan tercapainya prestasi yang berkualitas tinggi atau kondisi.

Dalam proses manajemen melibatkan fungsi-fungsi pokok yang ditampilkan oleh seorang pemimpin atau manajer: perencanaan, pengorganisasian kepemimpinan, adn pengawasan. Winarso (1991: 4) memberi bobot kegiatan pemimpin dari keempat fungsi manajem pada kegiatan kepemimpinan sebab yang dihadapi dalam usaha mempengaruhi, membimbing, mengarahkan, dan menggerakkan adalah 6 M (Man, Money, Material, Machine, Methods, and Markets) sehingga tercapai tujuan organisasi yang efisien dan efektif. Senada dengan itu Stogdill (dalam Wahjosumidjo, 1994: 23) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah titik sentral proses kegiatan kelompok, sebab dalam kehidupan organisasi, dari kepemimpinan diharapkan lahirnya perubahan kegiatan, dan seluruh proses kegiatan kelompok. Oleh karena itu kepemimpinan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan kelompok dan merupakan inti dari proses manajemen.

Kepemimpinan merupakan kemampuan seseorang sedangkan pemimpin merupakan orang yang diakui dan diterima oleh orang lain atau kelompok sebagai pribadi yang mempunyai kemampuan tersebut. Mengenai timbulnya seorang pemimpin atas asal usul seorang pemimpin yang efektif, para ahli dan praktis kepemimpinan yang mempunyai pandangan yang berbeda, menurut Siagian (1994: 9) perbedaan pandangan tersebut secara umum dapat dibedakan pada dua kubu yang masing-masing secarah gigih membela pendirian dan pendapatnya.

Kubu yang pertama berpendapat bahwa “pemimpin dilahirkan” pandangan ini berkisar pada pendapat bahwa seorang hanya akan manjadi pemimpin yang efektif karena ia dilahirkan dengan bakat-bakat kepemimpinan. Pandangan ini diwarnai oleh filsafat hidup yang diterministik dalam arti adanya kenyakinan para penganutnya bahwa jika seorang memang sudah “ditakdirkan” menjadi pemimpin, terlepas dari perjalanan hidup bersangkutan, akan timbul situasi yang menempatkan orang yang bersangkutan tampil sebagai pemimpin yang efektif dalam menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinan. Dengan demikian pandangan ini mengangagap bahwa tidak seorang pemimpin yang efektif bila tidak dilahirkan dengan bakat-bakat kepemimpinan.

Kubu yang kedua berpendapat bahwa “pemimpin dibentuk dan ditempa”. Pandangan ini berkisar pada pendapat yang mengatakan efektivitas kepemimpinan seseorang yang dapat dibentuk dan ditempa dengan alam memberikan kesempatan yang luas kepada yang bersangkutan untuk menumbuhkan dan mengembangkan efektivitas kepemimpinannya melalui berbagai kegiatan pendidikan dan latihan kepemimpinan. Dengan pendidikan dan pelatihan kepemimpinan yang terarah dan intensif, seseorang dapat belajar tentang berbagai hal yang menyangkut masalah efektivitas kepemimpinan yang akan mengarahkan seseorang untuk menemukan dirinya sebagai pemimpin yang efektif.

Menurut Siagian (1994: 11) paradigma kepemimpinan yang efektif harus didasarkan pada kedua kubu tersebut, sehingga seseorang hanya akan menjadi pemimpin yang efektif apabila : (1) seorang secara genetika telah memiliki bakat kepemimpinan. (2) bakat-bakat tersebut dipupuk dan dikembangkan melalui kesempatan untuk menduduki jabatan kepemimpinan (3) ditopang oleh pengetahuan teoritikal yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan, baik yang bersifat umum maupun yang menyangkut teori kemampuan.

Defenisi kepemimpinan yang telah diungkapkan oleh banyak ahli diantaranya : Ordway Tead (dalam Sutarto, 1986: 12) beranggapan bahwa kepemimpinan adalah aktivitas mempengaruhi orang-orang agar mau bekerja sama untuk mencapai beberapa tujuan yang mereka inginkan. Selanjutnya Stogdill (dalam Sutarto, 1986: 13) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kegiatan-kegiatan kelompok oang yang terorganisir dalam usaha mereka menetapkan tujuan dan mencapai tujuan. Oleh karena itu kegiatan si pemimpin adalah mengarahkan tingkah laku orang lain ke suatu tujuan tertentu. Selanjutnya Keating (1986: 9) melihat kepemimpinan itu adalah proses dengan berbagai cara mempengaruhi orang atau kelompok orang untuk mencapai suatu tujuan bersama.

Koontz (1992: 147) mengemukakan bahwa kepemimpinan merupakan pengaruh, seni, atau proses mempengaruhi orang-orang sehingga mereka akan berusaha mencapai tujuan kelompok dengan kemempuan dan antuasias. Robert (dalam Thoha, 1996: 227) mengartikan kepemimpinan itu sebagai pelaksanaan otoritas dan pengambilan keputusan. Sementara itu Hemphill (dalam Thoha, 1996: 227) mengartikan kepemimpinan adalah suatu inisiatif untuk bertindak yang menghasilkan suatu pola yang konsisten dalam rangka mencari jalan pemecahan dari suatu persoalan bersama.

Defenisi kepemimpinan tersebut di atas memberi arahan untuk membuat suatu kesimpulan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses interaksi antara pemimpin sebagai orang yang lebih berpengaruh untuk mengarahkan seluruh jajaran dan sumber daya organisasi yang dipimpinnya, dalam rangka mencapai tujuan yang ditetapkan. Untuk mendapatkan hasil yang terbaik, maka pemimpin harus menjadi agen perubahan yang menerima ide-ide baru, tanggap terhadap kebutuhan bawahannya, dan siap menjadi fasilitator dan inisiator, serta mau dan mampu melaksanakan ide-ide baru yang disepakati.

Kepemimpinan sebagai suatu konsep manajemen di dalam kehidupan organisasi mempunyai kedudukan strategis karena kepemimpinan merupakan titik sentral dan dinamisator seluruh proses kegiatan organisasi. Oleh karena itu, kepemimpinan selalu diperlukan di dalam kehidupan kelompok yang bekerja dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Kepemimpinan merupakan kemampuan seseorang sedangkan pemimpin merupakan orang yang diakui dan diterima oleh orang lain atau kelompok sebagai pribadi yang mempunya kemampuan tersebut.

Kemampuan yang dimiliki oleh setiap pemimpin itu tidak selalu sama karena adanya keterbatasan dan kelebihan-kelebihan tertentu pada diri manusia. Perbedaan itu dapat dilihat dari metode/cara pemimpin untuk

mengarahkan anggota untuk mencapai tujuan atau menyelesaikan pekerjaan. Hal itu disebabkan oleh latar belakang dan pengalaman serta pengetahuan setiap pemimpin tidak sama.

B. Pengertian Pemimpin dan Kepemimpinan

Kepemimpinan mencerminkan asumsi bahwa kepemimpinan menyengkut sebuah proses pengaruh sosial yang dalam hal ini pengaruh yang sengaja dijalankan oleh seseorang terhadap orang lain untuk mengatur aktivitas-aktivitas serta hubungan-hubungan di dalam sebuah kelompok atau organisasi.

Berbagai pendapat tentang pemimpin dan kepemimpinan dikemukakan oleh para ahli, namun dari berbagai macam literatur tidak ada kesepakatan mengenai definisi tersebut. Beberapa defenisi yang dikemukakan itu dipelopori oleh Frederick Winslow Taylor pada abad ke-20 dan berkembang menjadi suatu ilmu kepemimpinan yang menyatakan kepemimpinan tidak lagi didasarkan pada bakat dan pengalaman saja, tetapi pada penyiapan secara berencana, melatih calon-calon pemimpin, semuanya dilakukan lewat perencanaan, penyelidikan, percobaan, analilis, supervisi, serta sifat kepemimpinan yang unggul agar mereka berhasil dalam tugasnya.

Pemimpin mengacu pada oarngnya (manusia), sedangkan kepemimpinan terutama mengacu kepada sifat, gaya, perilaku, dan seni yang digunakan untuk memimpin. Setiap pemimpin seyogyanya memiliki kepemimpinan namun tidak semua pemimpin memiliki kepemimpinan yang ideal diterapkan pada organisasi dimana ia ditetapkan sebagai seorang pemimpin. Seorang pemimpin dapat saja memiliki beberapa gaya kepemimpinan namun demikian senantiasa pada diri seseorang pemimpin akan tanpak gaya kepemimpinan yang paling menonjol.

Kartono (1993: 33-34) membberikan definisi pemimpin. Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya disatu bidang, sehingga ia mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas tertentu demi pencapaian tujuan.

Pemimpin merupakan seorang yang memiliki kelebihan, sehingga dia mempunya kekuasaan dan kewibawaan untuk mengarahkan dan membimbing bawahannya, sehingga dapat mengarahkan mereka ke arah pencapaian tujuan yang telah disepakati. Pemimpin menciptakan suatu perubahan yang paling efektif dalam penampilan kelompoknya. Pemimpin merupakan orang yang menempati peranan sentral atau posisi dominan dan pengaruh dalam suatu kelompok. Dengan demikian inti dari pengertian pemimpin adalah peranan kunci, dominasi serta pengaruh.

Kepemimpinan adalah suatu proses keadaan dimana orang-orang karena kemampuan untuk mengulangi masalah-masalah dalam kehidupan kelompoknya, diikuti oleh orang lain di dalam kelompok tersebut, serta dapat mendorong serta dapat mempengaruhi tingkah laku mereka.

Dari definisi di atas, kepemimpinan dapat didasarkan atas pengaruh dalam diri pribadi seseorang yang secara spontan tergerak baik fisik, keberanian, kepeduluian, atau atas dasar suatu prestasi yang diperoleh dari keahlian, pengetahuan dan berbagai faktor lainnya. Kepemimpinan merupakan tingkatan mengorganisir dan mengarahkan berbagai aktivitas serta kepentingan kelompok maupun perseoranggan dalam ikatan proyek ataupun perusahaan tertentu oleh seseorang yang membangun suatu kerja sama melalui pengalaman dan pemeliharaan guna mencapai tujuan bersama.

Terri dalam Kartono (1993: 49) dikatakan hawa kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang agar mereka suka berusaha mencapai tujuan-tujuan kelompok.

Berdasarkan uraian tentang kepemimpinan seperti yang telah dikemukakan di atas, maka secara sederhana dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses penerapan dan penggunaan kemampuan, kekuasaan, mengambil keputusan dan memiliki kemampuan, mengatasi masalah yang muncul dalam kelompoknya.

Berkenaan dengan hal tersebut maka perlu diketahui bahwa beberapa hal penting dalam kepemimpinan, antara lain : (1) Kemampuan melihat organisasi secara keseluruhan; (2) Kemampuan mengambil keputusan-keputusan; (3) Kemampuan mendelegasikan wewenang; dan (4) Kemampuan menanamkan kesetiaan.

Kepemimpinan pada dasarnya adalah salah satu faktor yang harus ada dalam organisasi, sebab suatu organisasi terdiri dari sekelompok orang yang bekerja di bawah pengarahan kepemimpinan bagi pencapaian tujuan yang pasti. Sehingga dapat dikatakan bahwa kepemimpinan mempengaruhi perilaku orang lain dalam situasi tertentu agar bersedia bekerjasama untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.

C. Teori Kepemimpinan

Kegiatan manusia secara bersama-sama selalu membuktikan kepemimpinan. Jadi harus ada pemimpin demi sukses dan efisiensi kerja. Untuk bermacam-macam usaha dan kegiatan manusia yang jutaan banyaknya ini diperlukan upaya yang terencana dan sistematis untuk melatih dan mempersiapkan pemimpin-pemimpin baru. Oleh karena itu banyak studi dan penelitian dilakukan orang untuk mempelajari masalah pemimpin dan kepemimpinan. Dan para sarjana telah memberikan berbagai defenisi mengenai pemimpin dan kepemimpinan, dengan menonjolkan satu atau beberapa aspek tertentu sesuai dengan ide pencetus definisi tersebut, beserta interpretasinya.

Banyak sekali studi ilmiah yang telah dilakukan oleh teoritikus mengenai kepemimpinan, dan hasilnya berupa teori-teori tentang kepemimpinan yang mempunyai penekanan pada sisi lain yang berbeda. Dan para penganutnya berkeyakinan bahwa teori itulah yang paling benar dan paling tepat.

Menurut Terry dikemukakan bahwa teori-teori kepemimpinan terdiri dari : (1) teori otokratis (2) teori psikologis (3) teori sosiologi (4) teori suportif (5) teori laissez faire (6) teori kelakuan pribadi (7) teori situasi dan (8) teori humanistik/ populistik.

Dari pendapat tersebut di atas maka dapat dijelaskan teori-teori kepemimpinan yang dimaksud dengan uraian sebagai berikut :

(1) Teori Otokratis

Kepemimpinan menurut teori ini berdasarkan atas perintah-perintah, paksaan dan tindakan-tindakan yang arbitrer (sebagai wasit). Ia melakukan pengawasan yang ketat, agar semua pekerjaan berlangsung secara efisien. Kepemimpinannya berorientasikan pada struktur organisasi dan tugas-tugas.

Pemimpin tersebut pada dasarnya selalu mau berperan sebagai pemain tunggal dan berambisi untuk merajai situasi. Pemimpin yang masuk ke dalam teori ini selalu memberikan perintah-perintah yang dipaksakan dan harus dipatuhi, menentukan kebijakan untuk semua pihak tanpa berkonsultasi dengan para anggota, dan tidak memberikan informasi secara detail mengenai rencana yang akan datang.

(2) Teori Psikologis

Teori ini menyatakan, bahwa fungsi seorang pemimpin adalah memunculkan dan mengembangkan sistem motivasi tterbaik, untuk merangsang kesediaan bekerja dari para pengikut dan anak buah. Pemimpin merangsang bawahan, agar mereka mau bekerja, guna mencapai sasaran-sasaran organisatoris maupun untuk memenuhi tujuan-tujuan pribadi.

Teori ini lebih mengedepankan aspek-aspek psikologis manusia, seperti : pengakuan, martabat, status sosial, kepastian emosional, memperhatikan keinginan dan kebutuhan pegawai, kegairahan kerja, minat, suasana hati dan lain-lain.

(3) Teori Sosiologis

Kepemimpinan dianggap sebagai usaha-usaha untuk melancarkan antar-relasi dalam organisasi, dan sebagai usaha untuk menyelesaikan setiap konflik organisatoris antara para pengikutnya, agar tercapai kerjasama yang baik. Pemimpin menetapkan tujuan-tujuan dengan menyertakan para pengikut dalam pengambilan keputusan terakhir.

Setiap anggota mengetahui hasil apa, keyakinan apa, dan kelakuan apa yang diharapkan kepada mereka oleh pemimpin dan kelompoknya. Pemimpin diharapkan dapat mengambil tindakan-tindakan korektif apabila terdapat kepincangan-kepincangan dan penyimpangan-penyimpangan dalam organisasi.

(4) Teori Suportif

Menurut teori ini, para pengikut harus berusaha sekuat mungkin, dan bekerja dengan penuh gairah. Sedangkan pemimpin akan membimbing dengan sebaik-baiknya melalui kebijakan tertentu. Untuk maksud ini, pemimpin perlu menciptakan suatu lingkungan kerja yang menyenangkan, dan bisa membantu mempertebal keinginan setiap pengikutnya untuk melaksanakan pekerjaan sebaik mungkin, sanggup bekerjasama dengan pihak lain, mau mengembangkan bakat dan keterampilannya dan menyadari benar keinginan sendiri untuk maju.

Ada pihak yang menanamkan teori suportif ini sebagai teori partisipatif, dan ada pula yang menanamkannya sebagai teori kepemimpinan demokratis.

(5) Teori Laissez Faire

Kepemimpinan laissez faire ditampilkan oleh seorang tokoh yang sebenarnya tidak becus mengurus, dan dia menyerahkan semua tanggung jawab serta pekerjaan kepada bawahan atau kepada semua anggotanya. Dan dia sebagai ketua yang bertindak sebagai simbol, dengan macam-macam hiasan atau ornamen yang mentereng. Biasanya dia tidak memiliki keterampilan teknis, sedangkan kedudukan sebagai pemimpin dimungkinkan oleh sistem nepotisme, atau lewat praktek penyuapan.

Pendeknya, pemimpin laissez faire itu pada intinya bukanlah seorang pemimpin dalam pengertian yang sebenarnya. Semua anggota yang dipimpinnya bersikap santai-santai dan bermotto “lebih baik tidak usah bekerja”. Mereka menunjukkan sikap acuh tak acuh. Sehingga kelompok tersebut praktis menjadi tidak terbimbing dan tidak terkontrol.

(6) Teori Kepemimpinan Pribadi

Kepemimpinan jenis ini akan muncul berdasarkan kualitas-kualitas pribadi atau pola-pola kelakuan para pemimpinnya. Teori ini menyatakan, bahwa seorang pemimpin itu selalu berkelakuan kurang lebih sama, yaitu ia tidak pernah melakukan tindakan-tindakan yang identik sama dalam setiap situasi yang dihadapi. Dengan kata lain, dia harus mampu bersikap fleksibel, luwes, bijaksana, dan mempunyai daya lenting yang tinggi, karena dia harus mampu mengambil langkah-langkah yang paling tepat untuk suatu masalah. Sedang masalah sosial itu tidak akan pernah identik dalam waktu yang berbeda.

(7) Teori Situasi

Teori ini menjelaskan, bahwa harus terdapat daya lenting yang tinggi/ fleksibilitas pada pemimpin untuk menyesuaikan diri terhadap tuntutan situasi, lingkungan sekitar dan zamannya. Teori situasi ini lebih menitikberatkan pada dinamika interaksi antara pemimpin dengan bawahan melalui interaksi, untuk menjaring dan memenuhi harapan dan keinginan bawahan secara mendasar. Sebab bawahan itu adalah subyek yang memiliki keinginan, perasaan dan harapan yang harus diperhatikan oleh pemimpin.

(8) Teori Humanistik/ Populistik

Fungsi kepemimpinan menurut teori ini adalah merealisir kebebasan manusia dan memenuhi segenap kebutuhan insani, yang dicapai melalui interaksi pemimpin dengan bawahan. Untuk melakukan hal ini perlu adanya organisasi yang baik dan pemimpin yang baik, yang mau memperhatikan kepentingan dan kebutuhan bawahan.

Fokus dari teori ini adalah bawahan dengan segenap harapan dan kebutuhan harus diperhatikan, dan pemerintah mau mendengar suara hati nurani rakyat, agar tercapai organisasi yang makmur, adil dan sejahtera bagi setiap warga negara dan individu.

D. Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan banyak mempengaruhi keberhasilan sorang pemimpin dalam mempengaruhi perilaku bawahannya. Istilah gaya secara kasar adalah sama dengan cara yang digunakan pemimpin di dalam mempengaruhi para pengikutnya. Kepemimpinan suatu organisasi perlu mengembangkan staf dan membangun iklim motivasi yang menghasilkan tingkat produktivitas yang tinggi, maka pemimpin perlu memikirkan tingkat gaya kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang dihunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat. Usaha menyelaraskan persepsi di antara orang akan mempengaruhi menjadi amat penting kedudukannya.

Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mengetahui kesuksesan pemimpin ialah dengan mempelajari gayanya, karena gaya kepemimpinan banyak mempengaruhi keberhasilan seorang pemimpin dalam mempengaruhi perilaku bawahannya.

Istilah gaya secara kasar adalah sama dengan cara yang dipergunakan pemimpin dalam mempengaruhi para pengikutnya. Thoha (1997:52) mengatakan bahwa gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain. Dalam hal ini usaha menyelaraskan persepsi di antara orang yang akan mempengaruhi dengan orang yang perilakunya dipengaruhi menjadi sangat penting kedudukannya.

Gaya kepemimpinan ialah cara pemimpin membawa diri sebagai pemimpin, cara berlagak dalam menggunakan kekuasaannya, misalnya (1) gaya kepemimpinan otoriter, (2) gaya kepemimpinan demokratis, (3) gaya kepemimpinan paternalistik. Selanjutnya Keating (1986:9) mengatakan bahwa gaya kepemimpinan hanya ada dua macam, yaitu: (1) gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas (task oriented) dan (2) gaya kepemimpinan yang berorientasi pada manusia (Human relationship oriented).

Dalam berbagai literatur ditemukan istilah gaya kepemimpinan dari tipe kepemimpinan secara bersamaan. Antara gaya kepemimpinan dan tipe kepemimpinan diartukan sebagai suatu yang identik, seperti yang dikemukakan oleh Siagian (1994:30) bahwa gaya kepemimpinan seseorang akan identik dengan tipe kepemimpinan orang yang bersangkutan yang meliputi: (1) gaya/tipe otokratik, (2) gaya/tipe paternalistik, (3) gaya/tipe kharismatik, (4) gaya/tipe laissez-faire, dan (5) gaya/tipe demokratis.

Lewin, Lippit, dan White (dalam Salusu: 1996: 194) mengemukakan bahwa pada dasarnya ada tiga gaya kepemimpinan, yaitu: otokratik, demokratik dan laissez-faire, kemudian gatto (dalam Salusu: 1996: 194) melengkapi menjadi empat, yaitu: direkatif, konsultatif, partisipatif, dan delegatif.

Menurut Siagian (1994:32) bahwa persoalan yang mendasar apabila membahas masalah kepemimpinan. Di satu sisi para ahli berpendapat bahwa gaya kepemimpinan seseorang bersifat fixed sehingga tidak berubah meskipun.

Gaya kepemimpinan banyak mempengaruhi keberhasilan seorang pemimpin dalam mempengaruhi perilaku bawahannya. Istilah gaya secara kasar adalah sama dengan cara yang dipergunakan pemimpin di dalam mempengaruhi para pengikutnya. Kepemimpinan suatu organisasi perlu mengembangkan staf dan membangun iklim motivasi yang menghasilkan tingkat produktivitas yang tinggi, maka pemimpin perlu memikirkan gaya kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain.

Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mengetahui kesuksesan pemimpin ialah dengan mempelajari gayanya, karena gaya kepemimpinan banyak mempengaruhi keberhasilan seseorang pemimpin dalam mempengaruhi bawahannya.

Menurut teori situassional Siagian (1994:18) seorang pemimpin yang menjadi demokratik sekalipun akan mengubah gaya kepemimpinan, misalnya menjadi demokratik apabila situasi menuntutnya demikian. Begitu pula yang paling otokratik, mungkin saja bertindak otoriter pada situasi yang lain.

Menurut Harsei dan Blancard (dalam Thoha, 1996:278) bahwa konsepsi kepemimpinan situasional adalah dengan memperhatikan variabel-variabel yang penting, misalnya: organisasi, tugas-tugas, pekerjaan, pengawasan, dan waktu kerja akan tetapi penekanan dalam kepemimpinan situasional hanyalah pada perilaku pemimpin dan bawahan saja.

Dari konsep dasar kepemimpinan situasi adalah kedewasaan/kematangan bawahan. Begitu tingkat kedewasaan berusaha menyelesaikan suatu tugas meningkat, maka manajer harus mengurangi orientasi pada tugasn, dan mulai meningkatkan orientasi pada hubungan (hubungan atasan-bawahan), sampai bawahan mencapai tingkat sedang. Begitu bawahan mulai bergerak tingkat kedewasaannya dari sedang ke dewasa, adalah tepat saatnya bagi manajer yang mengurangi baik orientasi kepada bawahan maupun orientasi kepada tugas.

Dengan demikian, bawahan tidak saja dewasa menyelesaikan tugas, tetapi juga dewasa secara psikologis. Kepemimpinan situasi yang menggunakan konsep dsar kedewasaan/kematangan bawahan ini baru berarti apabila peran pemimpin/manajer dalam memotivasi bawahan tepat diberikan kepada bawahan sesuai dengan tingkat kedewasaannya. Dengan demikian, organisasi dapat menjadi efektif.

Sehubungan dengan konsep dasar kepemimpinan situasi yang menggunakan kedewasaan bawahan maka gaya kepemimpinan atasan sangat terkait dengannya.

Pentingnya gaya kepemimpinan diterapkan kepada bawahan sesuai dengan kedewasaan/kematangan bawahan merupakan persyaratan mutlak keefektifan kepemimpinan dalam keberhasilan organisasi.

Gaya kepemimpinan banyak mempengaruhi keberhasilan seorang pemimpin dalam mempengaruhi perilaku bawahannya. Istilah gaya secara kasar adalah sama dengan cara yang dipergunakan pemimpin di dalam mempengaruhi para pengikutnya. Kepemimpinan suatu organisasi perlu mengembangkan staf dan membangun iklim motivasi yang menghasilkan tingkat produktivitas yang tinggi, maka pemimpin perlu memikirkan gaya kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain.

Dengan demikian, kepemimpinan seorang pemimpin harus dapat menjalin hubungan pribadi yang baik antara yang dipimpin dengan yang memimpin, sehingga timbul rasa saling hormat-menghormati, percaya-mempercayai, saling tolong-menolong, dan rasa senasip sepenanggungan. Jadi, seorang pemimpin harus mampu berpikir secara sistematis dan teratur, mempunyai pengalaman dan pengetahuan serta mampu menyusun rencana tentang apa yang akan dilakukan.

Perilaku kepemimpinan atau leadership behavior tentu tidak dapat dilepaskan dari pembahasan tentang leadership style atau gaya kepemimpinan. Berbicara tentang kepemimpinan, orang cenderung berasosiasi tentang ungkapan klasik mengenai gaya kepemimpinan. Menurut Kusmintarjo dan Burhanuddin (1997-10) bahwa “Kepemimpinan itu situasional, artinya suatu gaya kepemimpinan dapat efektif untuk situasi tertentu dan kurang efektif untuk situasi yang lain. Ternyata gaya-gaya itu bervariasi adanya. Tergantung pada situasi kematangan bawahan (terpimpin) yang akan dibinanya.

Pada dasarnya, ada tiga gaya kepemimpinan seperti yang dikembangkan oleh Lewin, Lippit, dan White yaitu: Otokratik, Demokratik, dan Laissez-faire, kemudian dilengkapi menjadi empat, yaitu gaya direktif, gaya konsultatif, gaya partisipatif, dan gaya delegasi (Gatto, dalam Salusu, 1996).

Menurut Rustandi (1987:27-28) dijelaskan bahwa gaya kepemimpinan ada empat macam, yaitu:

1. Gaya Kepemimpinan Otokratis

Gaya ini kadang-kadang dikatakan kepemimpinan terpusat pada diri pemimpin atau gaya direktif. Gaya ini ditandai dengan sangat banyaknya petunjuk yang datangnya dari pemimpin dan sangat terbatasnya bahkan sama sekali tidak adanya peran serta anak buah dalam perencanaan dan pengambilan keputusan.

Pemimpin secara sepihak menentukan peran serta apa, bagaimana, kapan, dan bilamana berbagai tugas harus dikerjakan. Yang menonjol dalam gaya ini adalah pemberian perintah.

Pemimpin otokratis adalah seseorang yang memerintah dan menghendaki kepatuhan. Ia memerintah berdasarkan kemampuannya untuk memberikan hadiah serta menjatuhkan hukuman.

Gaya kepemimpinan otokratis adalah kemampuan mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dengan cara segala kegiatan yang akan dilakukan semata-mata diputuskan oleh pimpinan.

Adapun ciri-ciri gaya kepemimpinan otokratis adalah sebagai berikut:

1.1 Wewenang mutlak terpusat pada pemimpin;

1.2 Keputusan selalu dibuat oleh pemimpin;

1.3 Kebijakan selalu dibuat oleh pemimpin;

1.4 Komunikasi berlangsung satu arah dari pimpinan kepada bawahan;

1.5 Pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan atau kegiatan para bawahannya dilakukan secara ketat;

1.6 Tidak ada kesempatan bagi bawahan untuk memberikan saran pertimbangan atau pendapat;

1.7 Tugas-tugas bawahan diberikan secara instruktif;

1.8 Lebih banyak kritik dari pada pujian, menuntut prestasi dan kesetiaan sempurna dari bawahan tanpa syarat, dan cenderung adanya paksaan, ancaman, dan hukuman.

1. Gaya Kepemimpinan Birokratis

Gaya ini dapat dilukiskan dengan kalimat “memimpin berdasarkan peraturan”. Perilaku pemimpin ditandai dengan keketatan pelaksanaan prosedur yang berlaku bagi pemipin dan anak buahnya.

Pemimpin yang birokratis pada umumnya membuat keputusan-keputusan berdasarkan aturan yang ada secara kaku tanpa adanya fleksibilitas. Semua kegiatan hampir terpusat pada pimpinan dan sedikit saja kebebasan orang lain untuk berkreasi dan bertindak, itupun tidak boleh lepas dari ketentuan yang ada.

Adapun karakteristik dari gaya kepemimpinan birokratis adalah sebagai berikut:

2.1 Pimpinan menentukan semua keputusan yang bertalian dengan seluruh pekerjaan dan memerintahkan semua bawahan untuk melaksanakannya;

2.2 Pemimpin menentukan semua standar bagaimana bawahan melakukan tugas;

2.3 Adanya sanksi yang jelas jika seorang bawahan tidak menjalankan tugas sesuai dengan standar kinerja yang telah ditentukan.

1. Gaya Kepemimpinan Demokratis

Gaya kepemimpinan demokratis adalah kemampuan mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan cara berbagai kegiatan yang akan dilakukan ditentukan bersama antara pimpinan dan bawahan.

Gaya ini kadang-kadang disebut juga gaya kepemimpinan yang terpusat pada anak buah, kepemimpinan dengan kesederajatan, kepemimpinan konsultatif atau partisipatif. Pemimpin kerkonsultasi dengan anak buah untuk merumuskan tindakan keputusan bersama.

Adapun ciri-cirinya sebagai berikut:

3.1 Wewenang pemimpin tidak mutlak;

3.2 Pimpinan bersedia melimpahkan sebagian wewenang kepada bawahan;

3.3 Keputusan dan kebijakan dibuat bersama antara pimpinan dan bawahan;

3.4 Komunikasi berlangsung secara timbal balik, baik yang terjadi antara pimpinan dan bawahan maupun sesama bawahan;

3.5 Pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan atau kegiatan para bawahan dilakukan secara wajar;

3.6 Prakarsa dapat datang dari pimpinan maupun bawahan;

3.7 Banyak kesempatan bagi bawahan untuk menyampaikan saran, pertimbangan atau pendapat;

3.8 Tugas-tugas kepada bawahan diberikan dengan lebih bersifat permintaan dari pada intruksi;

3.9 Pimpinan memperhatikan dalam bersikap dan bertindak, adanya saling percaya, saling menghormati.

1. Gaya Kepemimpinan Laissez Faire

Gaya ini mendorong kemampuan anggota untuk mengambil inisiatif. Kurang interaksi dan kontrol yang dilakukan oleh pemimpin, sehingga gaya ini hanya bisa berjalan apabila bawahan memperlihatkan tingkat kompetensi dan keyakinan akan mengejar tujuan dan sasaran cukup tinggi.

Dalam gaya kepemimpinan ini, pemimpin sedikit sekali menggunakan kekuasaannya atau sama sekali membiarkan anak buahnya untuk berbuat sesuka hatinya. Adapun ciri-ciri gaya kepemimpinan Laissez Faire adalah sebagai berikut:

4.1 Bawahan diberikan kelonggaran atau fleksibel dalam melaksanakan tugas-tugas, tetapi dengan hati-hati diberi batasan serta berbagai produser;

4.2 Bawahan yang telah berhasil menyelesaikan tugas-tugasnya diberikan hadiah atau penghargaan, di samping adanya sanksi-sanksi bagi mereka yang kurang berhasil, sebagai dorongan;

4.3 Hubungan antara atasan dan bawahan dalam suasana yang baik secara umum manajer bertindak cukup baik;

4.4 Manajer menyampaikan berbagai peraturan yang berkaitan dengan tugas-tugas atau perintah, dan sebaliknya para bawahan diberikan kebebasan untuk memberikan pendapatannya;

Sedangkan menurut Max Weber (dalam Ridwan Nasir, 2005:17) meninjau masalah kepemimpinan dari segi legalitas otorita. Max Weber membedakan legalitas otorita menjadi 3, yaitu otorita rasional, otorita tradisional dan otorita kharismatik. Otorita rasional mempunyai hubungan lebih formal dan birokratik, yang lebih mendasarkan pada kompetensi teknik. Otorita tradisional mempertahankan legalitas otorita, dan menuntut orang lain mengakui otoritanya berdasarkan tradisi. Sedangkan legalitas otorita kharismatik diperoleh seseorang karena kharisma pribadinya, bukan berdasar kemudahan sosial atau kompetensi teknik. Kharisma pribadi tersebut dijabarkan dalam sifat-sifat seperti suci, keturunan unggul, kepribadian atau tanda-tanda yang diperkirakan menjadi indikator sifat-sifat tersebut.

Sehubungan dengan hal ini, Sutanto (dalam Kepemimpinan Kyai, 1999:13) mengaitkan legalitas otorita Max Weber menjadi gaya atau tipe kepemimpinan yang diterapkan pondok pesantren. Adapun gaya atau tipe kepemimpinan yang banyak dijumpai di pondok pesantren yaitu :

1. Gaya atau tipe kepemimpinan rasional yaitu tipe kepemimpinan yang mengacu pada suatu pola kepemimpinan yang bersifat kolektif di mana tingkat partisipasi komunitas lebih tinggi, struktur keorganisasian lebih komplek dan sentra kepemimpinan tidak mengarah kepada satu individu melainkan mekanisme kepemimpinan diatur secara manajerial.
2. Gaya atau tipe kepemimpinan tradisional yakni suatu tipe kepemimpinan yang membutuhkan legitimasi formal komunitas pendukungnya dengan cara mencari kaitan keturunan dari tipe kepemimpinan kharismatik.
3. Sedangkan gaya atau tipe kepemimpinan kharismatik yaitu suatu tipe kepemimpinan yang mengacu pada satu figur sentral yang dianggap oleh komunitas pendukungnya memiliki kekuatan supranatural dari Allah, kelebihan dalam berbagai bidang keilmuan, partisipasi komunitas dalam mekanisme kepemimpinan kecil, dan mekanisme kepemimpinan tidak diatur secara birokratik.

Dengan adanya model kepemimpinan yang bertalian langsung terhadap produktivitas, maka Likert (dalam Wihjosumidjo, 1994:73), mengemukakan pendapatnya bahwa suatu organisasi yang tidak produktif disebabkan adanya kecendrungan pemimpin ke arah gaya kepemimpinan otoriter, sebaliknya produktivitas tinggi yang dapat dicapai oleh organisasi, banyak ditentukan oleh adanya gaya kepemimpinan yang konsultatif atau gaya kepemimpinan partisipatif.

Demikian pula apa yang dikemukakan oleh Wendel French (dalam Winardi, 1995:81), mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang berkaitan dengan persoalan kepemimpinan yang perlu diperhatikan secara simultan. Di mana misalnya dapat berusaha untuk memperbaiki iklim organisasi yang membantu kepemimpinan secara efektif.

Selanjutnya Anonim (1999:9) mengemukakan bahwa : kepemimpinan yang berhasil adalah suatu proses kepemimpinan yang dapat memenuhi kebutuhan dari masing-masing situasi dan dapat memilih/menerapkan teknik atau gaya kepemimpinan yang sesuai dengan tuntutan situasi tersebut.

Seorang pemimpin dapat melaksanakan macam-macam gaya kepemimpinan, yang sebagian besar tergantung dari pada watak orang yang bersangkutan. Tetapi, seorang pemimpin yang bijaksana senantiasa akan berusaha untuk menerapkan gaya kepemimpinan yang paling sesuai dengan situasi serta kondisi yang dihadapinya. Setiap pemimpin menjalankan kepemimpinan atau leadership.

Kepemimpinan pada hakekatnya merupakan produk situasional. Dalam hubungan ini, keberhasilan kepemimpinan di sekolah sebenarnya akan lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor situasi seperti: karakteristik individu yang dipimpin, pekerjaan lingkungan sekolah, kebudayaan setempat, kepribadian kelompok, dan bahkan waktu yang dimiliki oleh kepala sekolah.

Kamis, 26 November 2009

organisasi Suku bangsa Jawa

Suku bangsa Jawa, adalah suku bangsa terbesar di Indonesia. Jumlahnya mungkin ada sekitar 90 juta. Mereka berasal dari pulau Jawa dan terutama ditemukan di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tetapi di provinsi Jawa Barat banyak ditemukan Suku Jawa, terutama di Kabupaten Indramayu dan Cirebon yang mayoritas masyarakatnya merupakan orang-orang Jawa yang berbahasa dan berbudaya Jawa. Di Lampung, Banten, Jakarta, dan Sumatera Utara populasi mereka juga cukup banyak. Suku Jawa juga memiliki sub-suku, seperti Osing dan Tengger.

Bahasa

Suku bangsa Jawa sebagian besar menggunakan bahasa Jawa dalam bertutur sehari-hari. Dalam sebuah survei yang diadakan majalah Tempo pada awal dasawarsa 1990-an, kurang lebih hanya 12% orang Jawa yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa mereka sehari-hari, sekitar 18% menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia secara campur, dan selebihnya hanya menggunakan bahasa Jawa saja.

Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi berdasarkan hubungan antara pembicara dan lawan bicara, yang dikenal dengan unggah-ungguh. Aspek kebahasaan ini memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa, dan membuat orang Jawa biasanya sangat sadar akan status sosialnya di masyarakat.

Kepercayaan

Orang Jawa sebagian besar secara nominal menganut agama Islam. Tetapi yang menganut agama Protestan dan Katolik juga banyak. Mereka juga terdapat di daerah pedesaan. Penganut agama Buddha dan Hindu juga ditemukan pula di antara masyarakat Jawa. Ada pula agama kepercayaan suku Jawa yang disebut sebagai agama Kejawen. Kepercayaan ini terutama berdasarkan kepercayaan animisme dengan pengaruh Hindu-Buddha yang kuat. Masyarakat Jawa terkenal akan sifat sinkretisme kepercayaannya. Semua budaya luar diserap dan ditafsirkan menurut nilai-nilai Jawa sehingga kepercayaan seseorang kadangkala menjadi kabur.

Profesi

Di Indonesia, orang Jawa bisa ditemukan dalam segala bidang, terutama sebagai Pegawai Negeri Sipil dan Militer. Orang Jawa tidak menonjol dalam bidang Bisnis dan Industri. Orang Jawa juga banyak yang bekerja sebagai buruh kasar dan tenaga kerja Indonesia sebagai pembantu rumah tangga dan buruh di hutan-hutan di luar negeri yang mencapai hampir 6 juta orang.

Stratifikasi Sosial

Masyarakat Jawa juga terkenal akan pembagian golongan-golongan sosialnya. Pakar antropologi Amerika yang ternama, Clifford Geertz, pada tahun 1960-an membagi masyarakat Jawa menjadi tiga kelompok: kaum santri, abangan dan priyayi. Menurutnya kaum santri adalah penganut agama Islam yang taat, kaum abangan adalah penganut Islam secara nominal atau penganut Kejawen, sedangkan kaum Priyayi adalah kaum bangsawan. Tetapi dewasa ini pendapat Geertz banyak ditentang karena ia mencampur golongan sosial dengan golongan kepercayaan. Kategorisasi sosial ini juga sulit diterapkan dalam menggolongkan orang-orang luar, misalkan orang Indonesia lainnya dan suku bangsa non-pribumi seperti orang keturunan Arab, Tionghoa, dan India.

Seni

Orang Jawa terkenal dengan budaya seninya yang terutama dipengaruhi oleh agama Hindu-Buddha, yaitu pementasan wayang. Repertoar cerita wayang atau lakon sebagian besar berdasarkan wiracarita Ramayana dan Mahabharata. Tetapi pengaruh Islam dan Dunia Barat ada pula.

Stereotipe orang Jawa

Orang Jawa memiliki stereotipe sebagai sukubangsa yang sopan dan halus.[1] Tetapi mereka juga terkenal sebagai sukubangsa yang tertutup dan tidak mau terus terang. Sifat ini konon berdasarkan watak orang Jawa yang ingin menjaga harmoni atau keserasian dan menghindari konflik, karena itulah mereka cenderung untuk diam dan tidak membantah apabila terjadi perbedaan pendapat.

Namun, tidak semua orang Jawa memiliki sikap tertutup dan tidak mau berterus terang. Orang Jawa di daerah timur bantaran Sungai Brantas — khususnya Kota Surabaya, Kota dan Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Gresik, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Jombang, Kota dan Kabupaten Pasuruan, Kota Batu, Kota dan Kabupaten Malang — memiliki watak egaliter, lugas, terbuka, terus terang, apa adanya, dan tidak suka basa-basi.

kebudayaan

Pengertian kebudayaan

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.

Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.

Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.

Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.Kebudayaan sebagai peradaban

Saat ini, kebanyakan orang memahami gagasan "budaya" yang dikembangkan di Eropa pada abad ke-18 dan awal abad ke-19. Gagasan tentang "budaya" ini merefleksikan adanya ketidakseimbangan antara kekuatan Eropa dan kekuatan daerah-daerah yang dijajahnya. Mereka menganggap 'kebudayaan' sebagai "peradaban" sebagai lawan kata dari "alam". Menurut cara pikir ini, kebudayaan satu dengan kebudayaan lain dapat diperbandingkan; salah satu kebudayaan pasti lebih tinggi dari kebudayaan lainnya.
Artefak tentang "kebudayaan tingkat tinggi" (High Culture) oleh Edgar Degas.

Pada prakteknya, kata kebudayaan merujuk pada benda-benda dan aktivitas yang "elit" seperti misalnya memakai baju yang berkelas, fine art, atau mendengarkan musik klasik, sementara kata berkebudayaan digunakan untuk menggambarkan orang yang mengetahui, dan mengambil bagian, dari aktivitas-aktivitas di atas. Sebagai contoh, jika seseorang berpendendapat bahwa musik klasik adalah musik yang "berkelas", elit, dan bercita rasa seni, sementara musik tradisional dianggap sebagai musik yang kampungan dan ketinggalan zaman, maka timbul anggapan bahwa ia adalah orang yang sudah "berkebudayaan".

Orang yang menggunakan kata "kebudayaan" dengan cara ini tidak percaya ada kebudayaan lain yang eksis; mereka percaya bahwa kebudayaan hanya ada satu dan menjadi tolak ukur norma dan nilai di seluruh dunia. Menurut cara pandang ini, seseorang yang memiliki kebiasaan yang berbeda dengan mereka yang "berkebudayaan" disebut sebagai orang yang "tidak berkebudayaan"; bukan sebagai orang "dari kebudayaan yang lain." Orang yang "tidak berkebudayaan" dikatakan lebih "alam," dan para pengamat seringkali mempertahankan elemen dari kebudayaan tingkat tinggi (high culture) untuk menekan pemikiran "manusia alami" (human nature)

Sejak abad ke-18, beberapa kritik sosial telah menerima adanya perbedaan antara berkebudayaan dan tidak berkebudayaan, tetapi perbandingan itu -berkebudayaan dan tidak berkebudayaan- dapat menekan interpretasi perbaikan dan interpretasi pengalaman sebagai perkembangan yang merusak dan "tidak alami" yang mengaburkan dan menyimpangkan sifat dasar manusia. Dalam hal ini, musik tradisional (yang diciptakan oleh masyarakat kelas pekerja) dianggap mengekspresikan "jalan hidup yang alami" (natural way of life), dan musik klasik sebagai suatu kemunduran dan kemerosotan.

Saat ini kebanyak ilmuwan sosial menolak untuk memperbandingkan antara kebudayaan dengan alam dan konsep monadik yang pernah berlaku. Mereka menganggap bahwa kebudayaan yang sebelumnya dianggap "tidak elit" dan "kebudayaan elit" adalah sama - masing-masing masyarakat memiliki kebudayaan yang tidak dapat diperbandingkan. Pengamat sosial membedakan beberapa kebudayaan sebagai kultur populer (popular culture) atau pop kultur, yang berarti barang atau aktivitas yang diproduksi dan dikonsumsi oleh banyak orang.

Organisasi Internasional

Organisasi Internasional

Kebijakan umum Pemri pada organisasi-organisasi internasional didasarkan pada Peraturan Presiden No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004-2009, Bab 8 tentang Pemantapan Politik Luar Negeri dan Peningkatan Kerjasama Internasional. Melalui penetapan RJPM, Pemerintah berusaha meningkatkan peranan Indonesia dalam hubungan internasional dan dalam menciptakan perdamaian dunia serta mendorong terciptanya tatanan dan kerjasama ekonomi regional dan internasional yang lebih baik dalam mendukung pembangunan nasional.

Prioritas politik luar negeri Indonesia dalam 5 tahun ke depan dituangkan dalam 3 program utama yaitu program pemantapan politik luar negeri dan optimalisasi diplomasi Indonesia, program peningkatan kerjasama internasional yang bertujuan untuk memanfaatkan secara optimal berbagai potensi positif yang ada pada forum-forum kerjasama internasional dan program penegasan komitmen terhadap perdamaian dunia.

Sesuai dengan Keppres No. 64 tahun 1999, keanggotaan Indonesia pada organisasi internasional diamanatkan untuk memperoleh manfaat yang maksimal bagi kepentingan nasional, didasarkan pada peraturan perundangan yang berlaku dan memperhatikan efisiensi penggunaan anggaran dan kemampuan keuangan negara.

Keanggotaan Indonesia pada OI diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu antara lain

* secara Politik : dapat mendukung proses demokratisasi, memperkokoh persatuan dan kesatuan, mendukung terciptanya kohesi sosial, meningkatkan pemahaman dan toleransi terhadap perbedaan, mendorong terwujudnya tata pemerintahan yang baik, mendorong pernghormatan, perlindungan dan pemajuan HAM di Indonesia;
* secara ekonomi dan keuangan : mendorong pertumbuhan dan stabilitas ekonomi yang berkelanjutan, meningkatkan daya saing, meningkatkan kemampuan iptek, meningkatkan kapasitas nasional dalam upaya pencapaian pembangunan nasional, mendorong peningkatan produktivitas nasional, mendatangkan bantuan teknis, grant dan bantuan lain yang tidak mengikat;
* secara Sosial Budaya : menciptakan saling pengertian antar bangsa, meningkatkan derajat kesehatan, pendidikan, mendorong pelestarian budaya lokal dan nasional, mendorong upaya perlindungan dan hak-hak pekerja migran; menciptakan stabilitas nasional, regional dan internasional;
* segi kemanusiaan : mengembangkan early warning system di wilayah rawan bencana, meningkatkan capacity building di bidang penanganan bencana, membantu proses rekonstruksi dan rehabilitasi daerah bencana; mewujudkan citra positif Indonesia di masyarakat internasional, dan mendorong pelestarian lingkungan hidup dan mendorong keterlibatan berbagai pihak dalam usaha-usaha pelestarian lingkungan hidup.



Mengenai pengusulan Indonesia untuk menjadi anggota dari suatu Organisasi Internasional diatur dalam Keputusan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor SK. 1042/PO/VIII/99/28/01 tentang Tata Cara Pengajuan Kembali Keanggotaan Indonesia serta Pembayaran Kontribusi Pemerintah Indonesia pada Organisasi-Organisasi Internasional.

Menurut SK Menlu tersebut, dalam hal suatu instansi bermaksud mengusulkan keanggotaan Indonesia pada organisasi internasional, usulan tersebut disampaikan secara tertulis kepada menteri Luar Negeri disertai dengan penjelasan mengenai dasar usulan serta hak dan kewajiban yang timbul dari keanggotaan itu. Pengusulan tersebut kemudian akan dibahas oleh Kelompok Kerja Pengkaji Keanggotaan Indonesia dan Kontribusi Pemerintah Indonesia pada Organisasi-Organisasi Internasional. Pembahasan mengenai usulan tersebut memperhatikan:

1. Manfaat yang dapat diperoleh dari keanggotaan pada organisasi internasional yang bersangkutan;
2. Kontribusi yang dibayar sebagaimana yang disepakati bersama dan diatur dalam ketentuan organisasi yang bersangkutan serta formula penghitungannya;
3. Keanggotaan Indonesia pada suatu organisasi internasional yang emmpunyai lingkup dan kegiatan sejenis;
4. Kemampuan keuangan negara dan kemampuan keuangan lembaga non pemerintah.


diambil dari google departemen luar negri
Pengertian Organisasi (didapat dari buku)

1. Organisasi adalah susunan dan aturan dari berbagai-bagai bagian (orang dsb) sehingga merupakan kesatuan yang teratur. (W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia)
2. Organisasi adalah sistem sosial yang memiliki identitas kolektif yang tegas, daftar anggota yang terperinci, program kegiatan yang jelas, dan prosedur pergantian anggota. (Janu Murdiyamoko dan Citra Handayani, Sosiologi untuk SMU Kelas I)

Pengertian organisasi berikut ini didapat dari artikel yang berjudul “Pengertian, Definisi dan Arti Organisasi - Organisasi Formal dan Informal - Belajar Online Lewat Internet Ilmu Manajemen” oleh godam64
tanggal 16 Februari 2008 (http://organisasi.org/pengertian_definisi_dan_arti_organisasi_organisasi_formal_dan_informal_belajar_online_lewat_internet_ilmu_manajemen)

3. Menurut Stoner, organisasi adalah suatu pola hubungan-hubungan yang melalui mana orang-orang di bawah pengarahan manajer mengejar tujuan bersama.
4.Menurut James D. Mooney, organisasi adalah bentuk setiap perserikatan manusia untuk mencapai tujuan bersama.
5. Menurut Chester I. Bernard, organisasi merupakan suatu sistem aktivitas kerja sama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih
Selanjutnya, pengertian di bawah ini diambil dari Wikipedia, tanggal 16 Februari. Alamat web/halaman: http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi

6. Organisasi (Yunani: ὄργανον, organon - alat) adalah suatu kelompok orang yang memiliki tujuan yang sama. Baik dalam penggunaan sehari-hari maupun ilmiah, istilah ini digunakan dengan banyak cara.

Pengertian di bawah ini diperoleh dari artikel yang berjudul PENGARUH KEPUASAN KERJA DAN STRESS DIHADAPKAN DENGAN KONSELING DALAM TINGKAT PRODUKTIFITAS DAN PRESTASI KERJA SUATU ORGANISASI oleh : Mistiani, S.sos, Puslitbang Strahan Balitbang Dephan
(http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=18&mnorutisi=9) 16 Februari

7. Organisasi adalah bentuk formal dari sekelompok manusia dengan tujuan individualnya masing-masing (gaji, kepuasan kerja, dll) yang bekerjasama dalam suatu proses tertentu untuk mencapai tujuan bersama (tujuan organisasi). Agar tujuan organisasi dan tujuan individu dapat tercapai secara selaras dan harmonis maka diperlukan kerjasama dan usaha yang sungguh-sungguh dari kedua belah pihak (pengurus organisasi dan anggota organisasi) untuk bersama-sama berusaha saling memenuhi kewajiban masing-masing secara bertanggung jawab, sehingga pada saat masing-masing mendapatkan haknya dapat memenuhi rasa keadilan baik bagi anggota organisasi/pegawai maupun bagi pengurus organisasi/pejabat yang berwenang.

Pengertian selanjutnya diperoleh dari artikel yang berjudul “Manajemen Konflik Dalam Organisasi” oleh fickry tanggal 16Februari(http://defickry.wordpress.com/2007/09/13/manajemen-konflik-dalam-organisasi/)

8. Organisasi adalah suatu koordinasi rasional kegiatan sejumlah orang untuk mencapai tujuan umum melalui pembagian pekerjaan dan fungsi lewat hirarki otoritas dan tanggungjawab (Schein). Karakterisitik organisasi menurut Schein meliputi : memiliki struktur, tujuan, saling berhubungan satu bagian dengan bagian yang lain untuk mengkoordinasikan aktivitas di dalamnya.

9. Organisasi adalah sistem hubungan yang terstruktur yang mengkoordinasikan usaha suatu kelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu (Kochler).

10. Organisasi adalah suatu bentuk sistem terbuka dari aktivitas yang dikoordinasi oleh dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan bersama.

Sabtu, 31 Oktober 2009

berenang adalah olahraga yang sehat

BUGAR DAN SEHAT
DENGAN
BERENANG

Berenang akan meningkatkan kekuatan.stamina dan kelunturan tubuh pada saat yang bersamaan. Olahraga ini baik buat orang-orang yang menderita arthritis atau masalah punggung, asma, masalah berat badan dan kehamilan.orang lanjut usia bisa memanfaatka renang untukaktuvitas agar terhindr dari resiko jatuh dan patah tulang punggung.
Sayangnya di Indonesia belum terlalu banyak kolam renang. Kalaupun ada tarif masuknya, plus biaya transportasi.tak cocok untuk semua kalangan. padahal membudayakan berenang pada anak-anak sejak usia dini akan bermanfaat bagi kesehatan dan postur tubuh.
Pada intinya manfaat berenang adalah sebagai berikut :
 Bagus untuk jantung sehingga peredaran darah pun lebih lancar.
 Bagus untuk pernapasan.
 Bermanfaat mencegah keropos tulang meskipun bobotnya kecil.
 Bagus untuk membakar kalori.



Takaran Renang
Setiap olahraga harus mempunyai takaran atau ukuran. Ada tiga macam takaran yang perlu diperhatikan. pertama, intensitas latihan yaitu kerasnya kita melakukan latihan. Kedua, lamanya latihan. Ketiga, frekuensi latihan perminggu.
Bila inggin menjadi sehat dan bugar degan berenang,anda tidak hanya bisa berenamg seminggu sekali.olahraga seminggu sekali Cuma layak disebut olahraga rekreasi, hanya untuk bersenag-senang saja.kalau dilakukan seminggu dua kali meskipun sudah dilakukan bertahun-tahun hasilnya pun tidak optimal.sebaiknya paling sedikiy berenang dilakukan tiga kali perseminggu agar hasilnya bagus.
Pada awal latihan jangan terlalu ngoyo. Anda lakukan menurut kemampuan. Kalau mempu 20menit sebaiknya dilakukan 20 menit dulu.,pada setiap latihan di usahakan dilakukan penambahan waktu. Sehingga terjadi peningkatan secara rutin.
Intensitas lathan bisa dimonitor dari deyut nadi.denyut nadi orang yang melakukan latihan olahraga akan naiik, denyut nadi harus naik sampai lebih dari 60% dari 220 dikurangi umur.tetapi janga lebih dari 80% dari220 kurangi umur. Jadi antara 60% sampai 80% dari 220 dikurangi umur tersebut disebut zona latihan.dengan demikian anda bisa mendapatkan hasil yang optimal dari latihan-latihan yang anda lakukan.



Variasikan Gaya Renang
Untuk perbandingan olahraga gaya-gaya renang memang dibeda-bedakan secara ketat, namun sebelumnya untuk kesehatan gaya apa saja yang di sukai tidak akan berpengaruh besar.hanya kelebihan suatu gaya dibandingka gaya lain karena gerakan renang semua mirip.
Gerakan-gerakan otot digunakan tergantung pada gaya renang yang anda gunakan.yang penting mengvariasikan gaya dada.punggung, kupu-kupu , dan gaya bebas variasi akan sangat membantu anda untuk memperoleh hasil yang memuaskan.

Gaya Bebas
Kekuatan utama yang mendorong tubuh kedepan dalam gaya ini adalah gerakan tangan berputar ke depan kaki hanya sedikit menambah kecepatan . kecepatan gaya bebas 70/90% oleh tangan.gaya ini mengadalkan kekuatan yangan dan kaki. Gerakan ii akan membantu memperahankan keseimbangan tubuh dan memberi kesempatan pada tangan untuk melakukan fungsinya menggerakan tubuh dan menggerkan tangan kedepa sejauh mungkin.bila anda ingin memperkuat lengan dan bahu.gaya ini cukup bermanfaat.

Gaya Punggung.
Penggeraka bahu sangat dibutuhkan selama berenang dengan gaya punggung dan gerakan tangan yang lebih lemah dibandingkan gaya renang lainnya..\gerakan dibantu dengan gerakan pinggangdan kaki. Gerakan kaki menendangdibswah permukaan air untuk mempertahanka tubuh pada jalirnya dan membantu mendorong tubuh pada jalurnya da membantu mendorong tubuh kedepan dengan gaya ini, anda akan leluasa bernapas. Sebab muka memandang keatas, gaya ini bermanfaat untuk melenturkan tulang-tulang punggug dan bahu, meningkatkan kekuatan tangan dan kaki.serta meningkatkan kelenturan pergelangan kaki dan kekuatan otot lutut.



Gaya Kupu-kupu
Kedua tangan bergerak bersamaan untuk mendorong tubuh kedepan dan kedua kaki melakukan gerakan menendang.kedua lengan menghantam air kedepan secara bersamaan dan mengibaskan kearah luar. Bila teknik gaya kupu-kupu ini tidak di lakukan dengan benar dapat menguras tenaga yang besar. Dengan gerakan itu akan menguatkan lengan, bahu, leher dan punggung, serta eningkatkan kelenturan pergelangan kaki.

Gaya dada
Seperti gaya kupu-kupu gaya ini juga dikontrol oleh gerakan kaki dan lengan. Kedua tangan meraih kedepan, berputar kearah samping meliukkan menangkap air, dan menekan kebelakang, kemudian kaki di tekuk dan diluruskan kebelakang untuk membatu pergerakan ke depan. Gaya ini bermanfaat untuk menguatkan tangan dan otot-otot lengan bawah, meningkatkan kekuatan kaki serta meningkatkan kekuatan otot-otot lutut.